Di suatu hari yang membosankan seperti biasanya, Bianca dan Vivi memanggil namaku. Mereka berdua sedang duduk di kantin dengan wajah-wajah menyebalkan. Tentu saja aku tidak ingin mendekat. Tetapi, aku terpaksa mendekati mereka yang memanggilku sampai seluruh murid menoleh padaku.
"Kudengar kau mendapat nilai merah untuk pelajaran bahasa inggris kemarin?" Bianca meletakkan minuman dinginnya dan menatapku dengan puas. Baiklah. Kemarin adalah hari terburukku karena aku mendapat nilai enam untuk ulangan bahasa inggris. Aku tidak membaca soal dengan benar dan Sherlen mendapat nilai sempurna.
Aku menepuk dahiku, "Itu terkesan kalian tidak pernah mendapat nilai enam sebelumnya."
"Kau yakin itu karena kau tidak teliti? Bukan karena guru bahasa inggris membencimu?" Vivi mengangkat kedua alisnya. "Mengingat semua orang membencimu," ia memelankan volume suaranya kemudian tertawa kencang.
Mendapatkan nilai buruk sudah musibah untukku. Aku tidak membutuhkan cemooh dari mereka untuk merasa lebih buruk lagi.
"Bisakah kalian berdua diam, kalau begitu? Nilaiku tidak akan berpengaruh pada hidup kalian, bahkan satu persen." Aku bereaksi dengan ketus. Sejujurnya aku sudah sangat marah saat ini.
"Oh, Anastacia," Bianca berkata dengan nada meledek. Berpura-pura prihatin. "Tidakkah kau tahu darimana penghasilan Ayahmu? Itu dari uang-uang kami! Dari uang perusahaan kami yang menguntungkan," Bianca segera meninggikan nada bicaranya.
"Tanpa pengusaha sukses seperti Ayah kami berdua, provinsi ini hanya akan menyumbang kemiskinan, seperti Sherlen, sahabatmu," Vivi menambahkan dan keduanya sama-sama tertawa.
"Kita lihat saja jika kalian berdua bangkrut. Ayahku akan tetap menjadi Gubernur kaya," aku membenci topik ini. Terlahir seperti ini membuatku kadang merasa dikutuk.
"Pantas saja tidak ada yang mau berteman denganmu, Anaz." Vivi mengatakan dengan nada menyindir.
"Ya. Aku adalah Anastacia Charlotte yang sangat menyebalkan. Semua orang membenciku. Seluruh guru dalam gedung ini, seluruh murid, dan bahkan seluruh orang tua murid tidak menyukaiku. Kalian sudah puas? Aku sudah mengatakan semuanya," aku berusaha menahan air mataku. Entah mengapa, aku tak mengerti mengapa aku harus mengakui hal memalukan ini kepada semua orang.
"Termasuk pacarmu sendiri?" Vivi tersenyum lebar. Tatapannya membuatku ragu. Aku tidak pernah benar-benar memercayai Steve. Apalagi setelah peristiwa Steve dan Vivi saat itu.
"Vivianne, bisakah kau berhenti membicarakan Steve? Bukankah kau yang seharusnya malu dengan perbuatanmu?" aku menarik napas panjang-panjang. Berusaha mereda semua ledakan dan amarahku.
Vivi memutar bola matanya, "Itu menunjukkan betapa kamu bukan pacar yang baik. Inikah hasil didikan anak dalam sangkar emas?"
"Vivianne!" aku membentaknya dengan ganas.
"Anastacia! Steve mencariku setiap hari. Ia menceritakan dirimu. Seburuk apakah kau menjadi pacar untuknya. Astaga, kau memaksaku mengatakannya," Vivianne duduk dan bertingkah seolah ia merasa bersalah.
"Kalian berdua, bisakah kalian diam sejenak?" aku meninggikan nada bicaraku. Aku mengatur napasku agar aku tidak menangis. Aku merasa begitu dipermalukan saat ini.
"Ngomong-ngomong, kemana malaikatmu? Anto sudah terbuka matanya dan berhenti menghampirimu?" Bianca memerhatikan jam tangannya.
"Bianca, kau tidak mengetahui apa-apa mengenai Louis Antonio. Kau sama sekali tidak!" dengan percaya diri aku membantah kalimat yang itu. Ia menatapku dengan curiga.
"Ya, Steve juga katakan kau masih menyukainya," Vivi menambahkan. Aku menatap keduanya secara bergantian. Kerumunan semakin ramai. Masalahnya adalah, aku tidak tahu cara mengeluarkan diri dari masalah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAINFUL LIES (COMPLETE)
Romance#1 Kisah SMA "Do you love me?" always be the same question "No. I don't." always be the same lie ... Kisah ini menceritakan seorang gadis yang tujuh belas tahun hidupnya dihabiskan dalam rumah. Tahun ini, tahun pertama gadis itu bersekolah di seko...