Kebahagiaan Dia - Part 26

571 13 0
                                    

Semuanya takkan pernah sama. Ketika orang yang kita cintai tidak mencintai kita, semuanya akan berubah. Semuanya akan menjadi awal yang baru. Pagi ini, Anaz berjalan cepat menuju ruangan guru. Ia mencari Pak Esau dengan tergesa-gesa. Pak Esau yang sedang membaca artikel di majalah pun segera terkejut dan menghampiri Anaz.

"Saya ingin mengundurkan diri dari olimpiade matematika," Anaz tidak pandai berbasa-basi. Itulah yang sudah dipikirkannya semalaman hingga ia tak terpejam sama sekali.

Pak Esau melemparkan wajah terkejut dengan kening berkerut. "Bukankah kau sangat bangga saat diterima? Tidak sembarang orang diterima," Pak Esau berusaha mempertahankan Anaz.

Anaz mengangguk, kemudian menggeleng. "Saya tidak bisa. Saya harus mengundurkan diri."

Pak Esau nampak kecewa, "Tapi, jika kau menang, kau akan dikalungkan medali oleh Gubernur." Pak Esau kemudian sadar dan menggeleng pelan, "Tentu saja. Gubernur adalah Ayahmu sendiri. Hm...," ia berpikir dengan canggung. "Kau bisa bersalaman dengan Presiden," ia menjentikkan jarinya.

"Aku bisa bersalaman dengan Presiden dan keluarganya setiap minggu," Anaz menjawab dengan nada angkuh.

Pak Esau menggaruk pelipisnya, "Benar. Tapi..., olimpiade ini pasti banyak manfaatnya. Kau bisa dekat dengan Anto, kalian berdua sedang masa pendekatan, bukan?" kedua alisnya terangkat.

Anaz seakan ditampar bulak-balik saat ini. Anaz melemparkan wajah tenangnya. "Mungkin itu alasan yang tepat mengapa saya mengundurkan diri. Saya terdengar tidak profesional. Tapi, saya ingin berhenti karena...kami."

Pak Esau terdiam. Kemudian, wajah cerianya berusaha dimunculkan kembali, "Olimpiade masih lama, Anaz. Kamu masih memiliki banyak waktu untuk berdamai?"

Anaz berwajah mengerikan. Tatapan matanya begitu tajam, seolah permintaannya takkan terbantahkan. "Saya tidak akan ikut olimpiade. Tidak akan," Anaz sedikit mengancamnya dan segera meninggalkan Pak Esau yang belum sempat menjawab.

Ia tidak bisa tersenyum saat sedang marah. Ia harus meninggalkan orang itu, sebelum kalimat menyebalkannya keluar.

Di ujung koridor, Anaz mendapati Joseph yang sedaritadi mendengarkan percakapannya dengan Pak Esau. Wajah Joseph tak terlalu bahagia. Tepatnya, Joseph menatap Anaz dengan wajah kecewa. Anaz berjalan menghampirinya dengan wajah angkuh. Anaz berhenti di hadapan Joseph. Tatapannya begitu tajam.

"Mulai saat ini, anggap saja kita tidak kenal satu sama lain. Itu terdengar lebih baik," Anaz berbisik dengan nada angkuh dan berjalan melalui Joseph yang berdiri menyandar tembok.

Anaz mampu menutupi rasa sedihnya dengan bertindak angkuh. Itulah ia. Tidak, ia tidak benar-benar ingin pergi dari pandangan Joseph. Hanya itu yang bisa ia lakukan saat ia sedang marah, malu, dan kecewa dalam satu paket.

...

Saat sampai di rumah, Anaz mendapati Hazel sedang menggantungkan gaun berwarna hitam setinggi mata kaki yang dipenuhi berlian di bagian atasnya. Gaun tangan panjang dengan renda-rendah perak itu sengaja dibuat untuk menghadiri ulang tahun Audrey.

"Lihatlah! Ini bisa melebihi keindahan gaun Audrey," Hazel bersorak bahagia. Namun, Anaz hanya menatapnya dengan datar dan tidak menanggapi. Anaz segera membantingkan tubuhnya di atas kasur.

"Siapa teman kencanmu ke pesta? Oh sudah pasti...," Hazel berusaha menghibur Anaz yang menelungkupkan kepalanya di atas bantal.

Anaz belum sempat menceritakan semuanya pada Hazel. Ia hanya mengurung diri dalam kamar berlama-lama.

"Kau mengapa, Nona?" Hazel mulai panik saat mendengar wanita itu mengeluarkan isak tangis. Anaz tidak mendongak sama sekali. Tapi tangisnya terasa makin kencang. Hazel segera duduk di sampingnya dan mengelus pundaknya dengan lembut.

PAINFUL LIES (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang