Aku masih menggenggam tangan Steve saat bepergian. Aku masih mengatakan 'selamat malam' padanya sebelum ia terlelap. Aku masih mencium keningnya sebelum turun dari mobil. Tapi, semua itu seakan hanya formalitas sebagai pacar yang baik. Aku tidak lebih dari seorang pembohong yang lebih buruk dari siapapun. Karena beberapa bulan lalu, tepatnya saat tanggal empat belas Maret saat Joseph berulang tahun, aku meletakkan kado di depan kamar apartemennya.
Kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Aku selalu berpura-pura lupa di hadapan Steve. Namun nyatanya, saat ini aku sedang menyetir menuju bandara. Hari ini, Joseph akan pergi ke London. Terlalu jauh dari sini. Aku memarkirkan mobilku dan turun dengan kacamata hitam. Aku turun dengan ragu. Nampaknya semua terlalu sibuk untuk peduli dengan kehadiranku.
Aku berjalan menyusuri toko-toko di bandara. Jantungku tak bisa berhenti melompat-lompat untuk mencarinya. Berbulan-bulan kami tidak bertemu dan tidak bicara. Tetapi perasaan dan harapanku tidak pernah luntur. Kakiku yang jenjang sejenak seperti mati rasa. Aku melihat Joseph dan Ayahnya sedang duduk dengan dua kopi di salah satu kafe. Terlihat koper besar milik keduanya. Joseph menggunakan jaket biru tua dengan topi Nike hitam. Tetapi, aku yakin itu Joseph. Tidak ada pria setampan itu lagi.
Aku terdiam. Di balik pilar untuk mengamati mereka. Aku bahkan tidak tahu mengapa aku berada di sini saat aku hanya bisa mengamati mereka dari kejauhan. Aku tidak cukup bodoh untuk berjalan dan menyapanya seolah perpisahan itu tidak pernah terjadi. Aku sudah terlalu sering mengucapkan perpisahan dengannya.
Setelah beberapa menit tanpa kejelasan, aku berjalan dari balik pilar dan hendak memutuskan untuk pulang. Namun, Joseph menoleh kearahku. Ia menatapku. Mata kami bertemu di detik yang sama. Aku balas menatapnya. Tetapi, kami sama-sama terdiam. Apakah ini rasanya perpisahan yang sebenarnya?
Joseph hendak berdiri menghampiriku. Tetapi aku tidak sanggup mengatakan apapun padanya. Aku berjalan menghindarinya. Aku berjalan sangat cepat sampai ia tidak bisa melihatku lagi. Lalu, aku berhenti di sebuah toko roti dan menangis. Aku mengabaikan satu mangkuk roti yang disuguhkan. Aku hanya tertunduk menangis. Sampai, aku sadar ada seseorang duduk di hadapanku. Aku menengadah dengan cepat.
Pria itu adalah Ayahnya Joseph. Ia sendirian. Ia berpakaian rapi dan sudah beruban. Ia tersenyum padaku tanpa maksud.
"Joseph sudah pergi lima belas menit lalu," katanya seraya mengecek jam tangan kulitnya.
Aku menghapus air mataku. Entahlah. Aku berada di posisi tidak bisa menghindar lagi darinya. Aku hanya tidak bisa.
"Saya tidak pergi karena ada yang harus dibicarakan dengan Sophie, Ibunya." Ia tersenyum dan berusaha ramah padaku yang tidak berniat membalas senyumannya.
Aku hanya terdiam dan tersenyum dipaksakan.
"Tadi akan menjadi pertemuan terakhirmu dengannya, Nona Anastacia," jawabnya tanpa berbasa-basi. Aku segera terbelalak. Pertemuan yang aku hindari menjadi yang terakhir?
"Mengapa?" air mataku kembali mendesak.
"Karena ia tidak berniat untuk kembali. London itu luas, Anastacia. Kau takkan bisa mencarinya," ia tersenyum dengan ragu.
"Tapi ia berjanji akan mencariku jika waktunya sudah tepat. Dan hanya ia yang tahu kapan waktu yang tepat itu," aku menggelengkan kepalaku dengan tidak percaya. Air mataku mengalir tanpa bisa kutahan.
"Tidakkah kau penasaran dengannya? Bagaimana perasaannya terhadapmu?" ia menopang dagu dan menatapku dengan meyakinkan.
Aku membuang pandanganku, "Ia tidak menyukaiku. Mengapa Anda mendadak ingin mengatakannya? Untuk memukulku mundur?"
Ia menggeleng dengan cepat, "Karena kau takkan bertemu lagi dengannya. Aku tidak ingin meninggalkan teka-teki dalam benakmu."
Aku duduk bersandar dengan ragu. Aku mengatur napasku. Jujur saja, aku sangat ragu mendengar pernyataannya.
"Hans Joseph, pria itu sangat menyukaimu. Dari setiap cara yang memungkinkan, ia mencintaimu. Pria itu tidak pernah berhenti terpesona padamu. Pria itu tak lelah mengidolakanmu. Ia menempel fotomu dalam kamarnya," dengan ragu ia menjelaskannya.
Tubuhku bergetar seutuhnya. Air mataku mengalir. Aku menggelengkan kepalaku dengan tidak percaya. Semuanya terdengar mustahil.
"Ia berbohong. Kebohongan yang menyakitkan baginya adalah menolakmu." Pria itu menarik napas panjangnya. Ia menatapku menangis di hadapannya dengan deras.
"Sejak kapan?" tanyaku dengan nada bergetar.
"Jauh sebelum kau menyukainya. Ia mencarimu sampai ke Paris saat itu. Ia katakan, kau tidak ada di sana. Lalu, ia bersumpah akan mencari gadis pemberi sapu tangan itu."
Aku susah payah menahan isak tangisku. Hatiku mengatakan, "Tidak mungkin. Semuanya terlalu tidak masuk akal." Tetapi, otakku memaksaku untuk berpikir, "Selama ini Joseph berbohong. Aku harus menyusulnya ke London." Tetapi aku hanya berakhir dengan diam.
"Ia menolakmu karena ia tahu ia takkan berakhir bersamamu. Dengan kata lain, orang sepertimu takkan berakhir dengannya." Pria itu mengangkat kedua bahunya. Wajahnya begitu sungguh-sungguh.
"Tapi aku tak masalah hidup dengannya. Aku, tanpa keraguan ingin hidup dengannya. Dengan atau tanpa kehidupan yang aku miliki sekarang. Karena aku sangat menyukainya." Aku bahkan tidak mengerti lagi apa yang kukatakan. Aku hanya ingin ia melihat betapa aku sungguh-sungguh menyukainya.
Tak disangka, ia berdiri dan tersenyum padaku. Ia menepuk bahuku dengan lembut. Lalu menggeleng disertai senyuman yang tak memudar.
"Kau tidak mengerti, Nona. Cinta memang menyatukan, tetapi cinta juga bisa memisahkan. Hati-hati dengan cinta yang kita miliki. Dengan cinta, Joseph pergi meninggalkanmu. Dengan cinta, kamu menghindar darinya. Benar?"
Air mataku menetes. Perkataan itu terdengar benar meskipun aku enggan mengakuinya. "Kapan Joseph akan pulang?" hanya kalimat itu yang muncul dalam pikiranku.
Pria itu menggeleng dan memakai tasnya kembali. "Nona Anastacia, Hans Joseph takkan kembali. Ia akan mencintaimu sejauh 7.200 mil dari sini."
...
Aku sampai di rumahku. Aku memandang kosong langit-langit yang mendung. Aku memejamkan mataku untuk sesaat. Hanya untuk sesaat, izinkan aku berhayal bahwa Joseph masih ada di hadapanku. Walaupun menghilang setelah aku kembali membuka mata. Sulit dipercaya bahwa tadi adalah pertemuan terakhirku dengannya. Seharusnya aku memeluknya dan mengatakan seberapa aku mencintainya untuk terakhir kalinya.
Tetapi benarkah pria itu mencintaiku? Di setiap cara yang memungkinkan, ia menyukaiku?
Hari ini, aku belajar sesuatu. Bahwa cinta bisa jadi pemisah. Karena ia mencintaiku, katakan saja seperti itu, ia meninggalkan aku tanpa suara demi meredam luka yang akan aku rasakan. Karena aku mencintainya, aku terlalu terpukul untuk mengatakan perpisahan dengannya dan berlari menjauh daripada menangis di hadapannya. Kalau begitu, Tuhan, izinkan aku memiliki cinta yang mempersatukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAINFUL LIES (COMPLETE)
Romance#1 Kisah SMA "Do you love me?" always be the same question "No. I don't." always be the same lie ... Kisah ini menceritakan seorang gadis yang tujuh belas tahun hidupnya dihabiskan dalam rumah. Tahun ini, tahun pertama gadis itu bersekolah di seko...