Tempat Untuk Berlindung - Part 12

678 10 0
                                    

Joseph baru saja akan meneguk satu gelas bir berwarna gelap. Itu adalah bir Guinness yang amat terkenal dan langka. Anaz segera terduduk di hadapannya dan mengurungkan niat Joseph untuk meneguk minuman itu.

"Bisakah kau...," Joseph menggerakkan bola matanya kearah pintu.

Anaz justru merapikan duduknya, menaruh tas Chloe yang tadi sempat ia bawa. Ia menatap Joseph dan ia merasa matanya begitu pedih karena menangis.

"Anaz, tolong tinggalkan...," Joseph berusaha mengusirnya secara langsung.

"Terserah apa katamu. Seret aku keluar jika itu membuatmu senang," Anaz mengucapkannya dengan nada dingin.

Itu sedikit membisukan Joseph. Pria itu mengangkat kedua bahunya dan menghabiskan seteguk bir itu. Joseph memegang botol besar Guinness dan hendak menuangkannya kembali. Anaz menahan langkahnya dengan memegang botol itu dengan kencang.

"Kau bisa sakit ginjal, bodoh," Anaz mengucapkannya saat Joseph berusaha menariknya.

"Aku sudah membelinya, bodoh," Joseph menjawab dan masih berusaha menariknya.

"Berapa harganya? Mahalkah?" Anaz melepaskan tangannya dan bir itu sedikit tergoyang.

Joseph melipat tangannya dengan rapi, "Apa maumu, Anaz?"

Anaz membuang pandangannya.

"Jika kamu tidak memiliki apapun untuk dikatakan, silahkan keluar. Atau duduk di bangku lain," Joseph berusaha menahan rasa kesalnya.

Anaz bersikap sangat dingin, "Kamu berusaha kasar padaku dengan mengusirku. Tetapi, apa yang aku alami tidak sebanding dengan perlakuanmu."

Joseph menatap Anaz yang terlihat berkaca-kaca dan hendak menangis. Wanita itu tidak berani menatap Joseph dan tetap berpandangan pada meja-meja di depannya. Air matanya mendesak untuk keluar.

Anaz tidak mengatakan apapun. Melainkan terdiam dengan wajah yang sangat kusam. Air matanya mulai menetes tanpa bisa ditahan.

Joseph berdiri dari kursi barnya yang tinggi. Ia segera menarik tangan Anaz. Joseph menarik Anaz hingga wanita itu berada dalam mobil Accord, bersamanya, di sampingnya.

Joseph bahkan meninggalkan botol bir yang masih utuh tersebut. Ia menatap Anaz dengan saksama. Wanita itu terdiam di dalam mobilnya.

"Kau mau kuantar pulang?" ia mulai lembut pada Anaz.

Anaz menggeleng, "Aku tidak ingin berada di rumahku."

Joseph mengangguk paham, "Kau berniat untuk bercerita atau hanya memasang wajah sedihmu di hadapanku?"

Ia mulai menyetir dan menyalakan mesin mobilnya.

"Bagaimana dengan mobilku?" Anaz menoleh dan mendapati mobilnya terparkir.

"Aku akan mengambilkannya untukmu," Joseph dengan cepat menjawabnya.

"Jika itu terlalu lama di sana, wartawan bisa mengenali mobil itu adalah milikku. Terparkir di bar," Anaz hendak membuka pintu mobilnya.

Joseph menahan tangannya, "Aku akan mengantarmu ke apartemenku. Setelah itu, aku akan langsung mengambil mobil itu."

Anaz menatap Joseph dengan saksama, "Terimakasih. Aku lega kau tinggal di apartemen."

"Kau berhutang padaku saat ini, Anaz," Joseph mengucapkannya dengan pelan.

Mereka sampai di apartemen Joseph yang tidak terlalu jauh. Jalanan begitu sepi, sehingga perjalanan mereka begitu cepat. Anaz masuk ke dalam apartemen tersebut. Mendapati ruang tamu yang besar dan nyaman. Ada banyak lampu kaca yang menghiasi ruangan itu. Sofanya nyaman dan cukup besar. Ada suara gemericik air dari kolam ikan Joseph di pinggir ruang tamu. Ada balkon yang nyaman dan romantis. Serta kamarnya pun begitu hangat dan terdapat bak berendam yang indah dalam kamar mandinya.

PAINFUL LIES (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang