Serupa Tapi Tak Sama - Part 3

866 19 0
                                    

Austin mengetuk pintu rumah Anto. Ia bersumpah tidak akan membuka kertas milik Anaz dan Anto tersebut. Terdapat, Ibunya, wanita yang kurus dan berambut pirang membukakan pintu untuknya.

"Permisi tante, saya mencari Anto," Austin tersenyum.

Wajah wanita itu merah, layaknya orang yang sudah menangis seharian, "Kamu teman terdekatnya Anto, bukan?"

Austin dengan ragu mengangguk.

"Mari masuk," ia membukakan pintu untuk Austin.

Austin melihat ke sekeliling dan tidak mendapati Anto sama sekali. Suasana rumah yang berukuran tidak terlalu besar itu begitu sepi, "Anto ada di mana?"

Ibunya duduk di sebuah sofa dan dengan wajah serius meminta Austin duduk pula di sofa tersebut.

"Ada hal yang ingin kamu sampaikan untuk Anto?" tanyanya dengan nada bergetar.

Austin mengangguk, "Sejujurnya, ada pesan untuknya."

Ibunya menunjuk sebuah pintu, "Itu kamarnya. Anto tidak ada di kamarnya. Kamu bisa menyimpannya di sana."

Austin masuk kedalam dan melihat berbagai koleksi patung unik miliknya yang berantakan. Di atas meja belajarnya, Austin mendapati tumpukan buku fisika dan matematika yang terlihat sering sekali ia baca. Di samping buku itu, berserakan banyak obat-obatan yang Austin tidak mengerti. Ia hanya meletakkan kertas kecil Anaz tadi di atas mejanya dengan rapi dan berharap Anto membacanya, ia yakin isinya penting.

Austin kembali duduk di posisi semula. Ibunya menatap Austin dan akan menyampaikan sesuatu yang penting.

"Tolong jaga ini baik-baik," jawabnya dengan lembut dan begitu serius.

Austin duduk tegak untuk mendengarkan hal yang akan disampaikan.

"Anto selama ini memiliki tumor paru-paru yang mematikan. Kemarin malam, ia berteriak kesakitan karena tumornya meradang. Hari ini, ia masuk ruang gawat darurat karena kondisinya begitu kritis. Jika ia tidak bisa melewati masa kritis ini, ia tidak akan selamat selamanya," air matanya mengalir dan wajahnya semakin saja memerah.

Austin terpaku dan ia benar-benar tidak mengetahui hal tersebut. Jantungnya seakan ingin lepas dan ia tidak tahu apa yang harus ia katakan terlebih dahulu.

"Jangan sebarkan hal ini pada siapapun. Biarkan hanya kamu satu-satunya murid yang mengetahui hal ini," tegas Ibunya dengan wajah serius.

"Saya sangat berharap Anto baik-baik saja. Pria itu begitu baik dan pintar, ia sebaiknya segera membaik karena minggu depan adalah tes tengah semester," tegas Austin dengan wajah yang sedih.

Austin pun berdiri dan hendak pulang. Ia mendapati foto Anto dengan kedua orang tuanya dan seorang pria seusianya.

"Siapa itu?" Austin menunjuk foto tersebut.

"Kakak laki-lakinya," jawab Ibunya dengan senyuman.

"Tunggu, apakah mereka kembar?" Austin mengerutkan dahinya untuk melihat dengan lebih jelas lagi.

"Iya, mereka kembar," tegasnya.

"Identik?" tanya Austin lagi.

"Identik," jawabnya dengan singkat.

Austin pergi dan berpamitan. Wanita ini masuk kembali ke rumahnya dan terduduk dengan pusing di sofanya. Tak lama, ia mendapatkan telepon dari Bernard, mantan suaminya itu.

"Sophie, apakah Anto baik-baik saja?" terdengar suara nyaring dari pria yang dulu ia cintai seutuhnya.

"Tidak. Ini adalah masa yang paling buruk baginya," jelas Sophie dengan nada tak ada harapan.

PAINFUL LIES (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang