Saat Anaz menapakkan kakinya di kelas, seluruh murid segera memandangnya. Kemudian, salah satu temannya menyatakan bahwa Anaz dicari kepala sekolah pagi ini. Sekarang, dengan tubuh bergetar, ia berjalan menuju ruang kepala sekolah. Ia tak merasa punya salah apapun. Tapi, mungkin ia punya.
Ia sedikit mundur saat melihat dari celah pintu ruangan itu. Terduduk Pak Lucas, kepala sekolah lanjut usia yang selalu memakai kemeja putih dan Sherlen di hadapannya. Anaz mungkin saat ini sudah sangat paham dengan masalahnya.
Anaz membuka pintu perlahan dan menawarkan senyum penuh ketakutannya. Anaz segera duduk di samping Sherlen dengan wajah cemas. Keduanya bertatapan canggung.
"Jadi, begini Anastacia," Pak Lucas membuka kalimatnya dan menyilangkan lengannya di atas meja. Nada bicaranya menunjukkan pertanda buruk bagi Anaz. "Sherlen mengatakan kau melabraknya tanpa alasan yang jelas beberapa waktu lalu...," Pak Lucas memberikan jeda yang panjang.
Raut wajah Anaz berubah seratus delapan puluh derajat. Ia tidak berniat menjawabnya. Ia duduk dengan santai dan pandangannya tertuju pada tanaman kecil milik Pak Lucas di atas mejanya.
"Bisakah kamu menjelaskan alasannya? Perbuatanmu sangat melukai hati Sherlen,"
Pak Lucas berbicara dengan ramah, Anaz tahu ia tidak mungkin disentak."Apakah Bapak akan marah jika dipengaruhi secara terus menerus dengan hal negatif? Saya tidak suka ucapannya. Saya hanya berusaha jujur padanya saat itu," Anaz menoleh pada Sherlen yang menundukkan kepalanya dan tak bergeming. Tatapan Anaz sanggup membunuhnya.
Pak Lucas berpikir sejenak. "Kau tidak bisa bicara seperti itu. Kau dan Sherlen memiliki hak yang sama."
"Ya, karena saya dan dia sama-sama memiliki hak berbicara, saya berusaha berbicara bahwa saya tidak suka dengannya. Saya hanya mengamalkan Atlantic Charter, freedom of speech. Jika Bapak tidak mau mendengar alasan saya, Bapak sudah melanggar hak asasi saya dan itu bisa dilaporkan menurut UU No. 39 tahun 1999," Anaz menjawab dengan cepat.
Pak Lucas dan Sherlen sama-sama hening. Keduanya bertatapan dengan situasi yang membingungkan.
"Selain itu saya juga mengamalkan UU No. 9 tahun 1998 mengenai kebebasan berpendapat. Saat itu, saya sedang mengemukakan isi hati saya dan menurut perspektif Sherlen saya sedang melabraknya. Pandangan orang relatif dan tidak bisa dipukul rata," Anaz menyempurnakan pendapatnya.
Pak Lucas kehabisan kata-kata. Kepalanya menggeleng-geleng dengan bingung. Pak Lucas adalah guru kimia, dan beliau tidak mengerti apa-apa yang diucapkan oleh Anaz. Ia menarik napas panjang. "Baiklah kalau begitu, Bapak minta kamu meminta maaf padanya. Karena kebaikan Sherlen yang sudah menunda kasus ini saat kamu pergi berlomba agar kamu tenang berlomba."
Anaz tertawa meremehkan. Ia menoleh pada Sherlen dengan wajah mencemooh. Sudut bibirnya terangkat dan matanya dengan dingin menatapnya. "Kau baik sekali, Sherlen,"
Anaz mengeluarkan nada sarkastisnya."Minta maaf!" Pak Lucas sedikit menaikkan nada bicaranya. Namun Anaz tidak terlihat takut sama sekali dan semakin melunjak.
"Lalu apa gunanya ada kasta di sekolah ini? Mengapa sekolah ini begitu mengagungkan kasta yang tidak ada fungsinya pada saat-saat seperti ini?" Anaz membalas tatapan Pak Lucas dengan tajam.
Sherlen hanya mampu membisu. Ia memainkan jemarinya di bawah meja dan rambutnya yang terurai menutupi setengah wajahnya.
"Kasta? Itu dibuat oleh murid secara turun temurun dan tidak ada urusannya dengan saya," Pak Lucas menjawab dengan sigap.
Anaz menjentikkan jarinya, "Itu yang disebut dengan konvensi. Peraturan itu tidak tertulis tetapi hidup dan dipercaya oleh kita semua. Peraturan pertama, kasta yang lebih rendah tunduk pada kasta yang lebih tinggi."
KAMU SEDANG MEMBACA
PAINFUL LIES (COMPLETE)
Romance#1 Kisah SMA "Do you love me?" always be the same question "No. I don't." always be the same lie ... Kisah ini menceritakan seorang gadis yang tujuh belas tahun hidupnya dihabiskan dalam rumah. Tahun ini, tahun pertama gadis itu bersekolah di seko...