Saat pagi-pagi, Anaz seperti biasa masuk ke dalam kelas dengan kacamata hitam. Melepasnya saat sudah terduduk di mejanya. Anaz memutuskan menyusuri koridor menuju kelas Austin, yang juga merupakan kelas Louis. Di tengah perjalanan, Anaz melihat Audrey dan kedua temannya berjalan menghampiri. Anaz berusaha menghindarinya, tapi menyerah dan menatap Audrey tanpa rasa takut.
"Kau sudah menerima undangannya?" tanya Audrey seraya jemarinya memainkan rambutnya. "Kuharap kau tidak bisa datang."
"Dengarkan, pemandu sorak, mengapa kau mengundangku jika tidak mengharapkan kehadiranku?" Anaz membalasnya dengan sindiran. Walaupun itu terasa menyakitkan bagi Anaz.
"Agar kau tahu kalau aku memiliki banyak teman, tidak sepertimu, loner," Audrey tersenyum dan mengibaskan rambutnya.
Anaz berusaha tersenyum, walaupun itu sedikit membuatnya gemetar. "Kalau begitu aku akan datang. Aku akan melihat seberapa besar korupsi Ayahmu."
"Terserah kau saja. Kurasa kau tidak akan mampu melakukannya. Aku tidak mengharapkan kehadiranmu, catat itu," Audrey berjalan melalui Anaz yang berdiri terpaku.
"Aku akan datang, dari awal hingga akhir!" teriaknya dan Audrey berpura-pura tidak mendengarnya. Hal itu hanya membuat Anaz merasa begitu malu.
Baiklah. Waktunya melupakan wanita itu, sejenak saja. Anaz menemui Austin. Syukurlah pria itu belum datang. Austin berjalan menghampiri dengan antusias.
"Kau mencari pasangan untuk pesta Audrey?" tanyanya, saat pertama kali mendekati Anaz.
"Bagaimana kalau kita ke perpustakaan?" Anaz menyipitkan matanya. Tetapi, ia mendapati pandangan lain dari Austin. "Bukan untuk memintamu menjadi pasanganku," ia segera melengkapinya.
Mereka berdua menuju perpustakaan. Saat itu, koran harian nasional sudah tiba. Anaz membaca judul teratasnya. Program Kartu Sehat Husein Sanjaya Berjalan Mulus? Anaz membacanya dan menghela napas. "Bisakah mereka berhenti menjadikan keluargaku sebagai pusat perhatian?"
Austin hanya tersenyum, "Itu sungguh keren! Aku tak keberatan membaca nama Ayahku ada di koran."
Anaz membuka lipatan koran itu. Artikelnya panjang sekali. Nampaknya, orang yang membuatnya benar-benar tertarik dengan topik ini. Beberapa foto Ayah dan Ibunya terpajang. Di bawahnya, terdapat foto yang sangat membuatnya terkejut. Foto itu terlihat seperti Louis dan Ibunya Louis yang mengacungkan jempol.
"Apakah itu Anto?" Austin menunjuknya dengan terkejut.
Anaz membacanya dengan cepat. Bola matanya bergerak ke kanan dan kiri dengan cepat. Anto, salah satu pelajar berprestasi yang mendapat pelunasan biaya rumah sakit dari program Kartu Sehat. Setelah mengalami koma, kini ia dan Ibunya bisa bernapas lega karena berhasil melawan penyakitnya.
Anaz bisa merasakan jantungnya berhenti. "Apakah selama ini aku gila?" gumamnya dan itu membuat Austin menoleh.
"Anto tidak sakit apa-apa. Ia masuk setiap hari! Ia tidak mungkin koma," Austin menggelengkan kepalanya.
Wajah Louis yang ada pada koran sama seperti wajah yang kemarin Anaz lihat sekilas di kamar rumah sakit. Anaz mengambil koran itu dan duduk di salah satu bangku. Austin pun turut terkejut.
"Austin, kau tahu mengenai Anto dan kembarannya?" Anaz menyipitkan matanya.
Austin ingat saat itu dia datang ke rumah Anto untuk menyampaikan surat dari Anaz. Austin mengangguk. Ada hal yang ia tutupi selama ini.
"Apakah kembaran sudah meninggal?" tanya Anaz kembali.
"Anaz, kau mungkin takkan memercayai ini. Tapi...," Austin berusaha menahan rasa gugupnya. Mata Anaz menatapnya tanpa jeda. "Anto, Louis Antonio, menderita tumor paru-paru akut. Ibunya memintaku merahasiakan ini pada semua orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
PAINFUL LIES (COMPLETE)
Romance#1 Kisah SMA "Do you love me?" always be the same question "No. I don't." always be the same lie ... Kisah ini menceritakan seorang gadis yang tujuh belas tahun hidupnya dihabiskan dalam rumah. Tahun ini, tahun pertama gadis itu bersekolah di seko...