Perasaan Tersakiti - Part 23

643 12 0
                                    

Joseph mengejar Anaz yang berjalan melewati mobilnya. Joseph menarik tangan Anaz dan wanita itu masih terlihat menangis. Matanya begitu merah dan ia membuang pandangannya.

"Panggilkan aku taksi," ujarnya dengan lemas.

"Tunggu, apa? Tidak. Aku akan mengantarmu pulang. Kau harus pulang denganku," Joseph mengatakannya dengan tegas. Wanita itu menggeleng dengan lemas.

Joseph terpaksa menyeretnya, wanita itu dengan tidak berdaya masuk ke dalam mobil. Duduk seperti biasa. Joseph menyusul ke dalam mobil dan mulai menyalakan mesin. Anaz memalingkan pandangannya. Pandangannya tertuju ke luar jendela. Suasana dalam mobil canggung sekali. Tidak ada yang berani berkata-kata satu sama lain.

Perjalanan lancar karena jalanan begitu sepi. Malam sudah agak larut. Anaz masih memalingkan wajahnya. Sampai, mobil Joseph tiba di depan rumah Anaz. Joseph berhenti dan membuka kunci mobil. Mempersilakan Anaz keluar. Anaz masih terduduk dengan lemas. Anaz menghapus air matanya satu kali lagi. Kemudian menarik napas kesal.

Anaz hendak membuka pintu mobilnya, namun ia menolehkan kepalanya. Melihat pandangan Joseph yang lurus ke depan.

"Hanya itu saja?" tanya Anaz dengan nada ketus. Alisnya terangkat dan tatapannya tajam. Joseph menoleh dengan terkejut yang ditutup-tutupi.

"Hanya karena kamu tidak menyukaiku? Itu saja?" Anaz meninggikan nada bicaranya karena Joseph terlihat tidak terlihat mengerti. Joseph hanya melemparkan wajah datar. Tatapannya tertuju pada kedua bola mata Anaz. "Firasatku mengatakan kau telah berbohong padaku. Tetapi, melihat kau tidak bergeming, malah semakin menyakitkan," Anaz mengomel dan segera membuka pintu mobil. Anaz berdiri dan melihat Joseph yang juga tak kunjung bergerak. "Hanya karena itu saja?" Anaz menahan air matanya dan menatap Joseph satu kali lagi. Pria itu masih tidak bergerak.

Anaz menghela napas kemudian membanting pintu mobil Joseph dengan kencang. Anaz segera masuk ke dalam rumah, yang sudah ditunggui oleh dua orang pegawainya. Tidak. Anaz tidak menoleh lagi. Ia segera masuk, berjalan dengan cepat.

"Tunggu, tunggu," Hazel berlari tergopoh-gopoh mengejar wanita itu. Anaz diam dan Hazel cepat-cepat mengerem kakinya yang sedang berlari. Anaz menoleh, melepas tasnya, dan melemparkan tas itu ke arah Hazel.

"Aku lelah!" bentaknya dan segera melepaskan sepatu miliknya di tengah-tengah koridor rumah. Anaz berjalan dengan sangat marah menuju kamar tidurnya. Terdengar ia membanting pintu kamar dan menguncinya. Hazel tak bisa apa-apa selain memunguti barang-barang Anaz dan merapikannya.

Anaz masuk ke dalam kamar, segera membanting tubuhnya di atas tempat tidur. Kemudian, wanita itu menoleh sebentar ke jendela kamarnya. Ia melihat mobil Joseph ada di sana. Terparkir di depan rumahnya. Ia tidak berpindah. Anaz terduduk di samping jendelanya. Anaz memandanginya seolah mereka saling kontak saat ini. Air mata Anaz mengalir dengan mudah membasahi pipinya.

"Kupikir, aku begitu marah padamu. Tapi, aku rasa aku begitu kecewa padamu. Dan kurasa, hal itu sedikit berbeda," Anaz mulai bergumam dengan isak tangis. Matanya tertuju pada mobil Joseph yang diam dan tak bergerak.

"Mengapa aku begitu bodoh hingga jatuh cinta padamu? Mengapa aku begitu tersanjung dengan dirimu? Mengapa kau bertingkah sangat baik padaku? Selalu ada untukku? Semua itu salah?" Anaz menarik napasnya. Ia menghapus air matanya dengan punggung tangannya. "Semua itu tidak berarti untukmu. Dan hari ini kamu juga ingin membuatku berpikir bahwa semua ini sudah berakhir. Kau yang memulainya, Louis," Anaz meninggikan nada bicaranya.

"Aku tidak memaafkanmu, Louis. Tidak sampai kapanpun," nada bicaranya melemah. Ia mulai menundukkan kepalanya. "Mengapa kau masih menunggu di sana?" Anaz menatapnya dengan lebih tajam. "Apa kurangnya aku untuk dia? Astaga!" Anaz memukul kepalanya dengan kepala tangannya.

PAINFUL LIES (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang