Tujuh hari berlomba sudah terlewati. Tersisa tiga hari acara bebas. Yang memang dikhususkan untuk menikmati berbagai tempat menarik sekitar hotel. Serta ada upacara penutupan yang megah. Semuanya akan menyenangkan.
Pak Esau tersenyum cerah pada ketiga murid teladannya, "Tidak sia-sia kalian belajar siang dan malam. Bapak sangat bangga. Bapak sudah katakan pada kepala sekolah bahwa kalian menang. Beliau sangat bangga dan akan memberikan hadiah tambahan untuk kalian."
Anaz merangkul Jane dan Joseph. Ia berdiri di tengah-tengah dan tersenyum ramah pada keduanya, "Terimakasih untuk para jenius kesayanganku. Karena aku boleh menjadi bagian dari tim kalian."
"Kau bekerja sangat keras, Anaz," Jane memeluk Anaz dengan hangat.
"Kalian semua bekerja sangat keras," Pak Esau berusaha meyakinkan mereka semuanya.
Tim ini kurang suka bersosialisasi bersama yang lain. Mereka memilih bermain kartu hingga larut dalam kamar. Di tengah-tengah permainan mereka, Pak Esau berdiri.
"Anto, tolong temani Bapak membelikan camilan di minimarket dekat sini."
Joseph dengan malas berdiri dan bergegas keluar kamar hotel. Tersisa Anaz dan Jane berdua. Jane segera mengangkat kedua alisnya pada Anaz.
"Bagaimana? Apakah ada hal yang menarik diantara kalian berdua?" Jane merangkul Anaz dengan hangat.
Mereka sudah melebihi sahabat nampaknya.
"Terimakasih. Aku dan dia memiliki banyak obrolan menarik. Aku sangat menyukainya," Anaz tersenyum malu.
Jane tersenyum. Kemudian, Anaz teringat sesuatu, "Louis memperbolehkan aku meminjam baju hangatnya. Aku akan mengambilnya di kamarnya," Anaz tersenyum dan segera masuk ke dalam kamar Joseph.
Anaz mendekati kopernya yang terbuka lebar. Anaz menarik baju hangat berwarna marun yang Joseph pakai beberapa hari lalu. Saat Anaz menarik jaket itu, sebuah sapu tangan yang sangat ia kenal.
Anaz membungkuk untuk mengambil sapu tangan itu dan mendapati sapu tangan itu miliknya. Terukir namanya. Anaz begitu terkejut saat mendapatinya. Ia menggelengkan kepalanya dengan tak percaya.
Anaz bergegas keluar. Jane terkejut karena wanita itu terlihat terburu-buru.
"Kau menemukannya?" Jane yang terduduk di lantai segera berdiri melihat wanita itu begitu panik.
"Jika Louis kembali, katakan padanya aku menunggu di taman waktu itu," Anaz membawa sapu tangan itu di tangannya, mengambil baju hangat miliknya, dan berjalan keluar kamar tanpa menjelaskan apapun pada Jane.
...
"Kami pulang," Joseph melepaskan sepatunya, meletakkan satu kantong plastik berisi makanan dan mendapati Jane seorang diri.
"Anto, Anaz menunggumu di taman biasa. Sepertinya ada sesuatu yang ia temukan dalam kamarmu," Jane segera berdiri dan mengatakannya dengan ragu.
Joseph segera menoleh kearah kamarnya dan mendapati jaket marunnya sudah terbongkar di atas kasur. Joseph segera tahu di mana akar masalahnya.
"Aku mengerti," Joseph segera keluar dari kamar menyusul Anaz.
Joseph berlari keluar kamar, dengan tubuh gemetar. Ia tidak menyangka wanita itu akan masuk ke dalam kamarnya, membuka lipatan jaketnya, dan mendapati sapu tangannya. Jujur saja selama ini Joseph tidak pernah memikirkan jawaban jika wanita itu menemukannya. Ia selalu berpikir bahwa sapu tangan itu berada di tempat yang aman.
Kemudian, ia melihat Anaz, dengan baju hangat renda miliknya sendiri berdiri di tepi lampu taman dengan wajah mendongak menatap langit dan angin menyapu rambut dari wajahnya. Ia berdiri, menahan rasa dingin. Joseph mulai ragu. Ia melangkah pelan mendekati Anaz dengan wajah gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAINFUL LIES (COMPLETE)
Storie d'amore#1 Kisah SMA "Do you love me?" always be the same question "No. I don't." always be the same lie ... Kisah ini menceritakan seorang gadis yang tujuh belas tahun hidupnya dihabiskan dalam rumah. Tahun ini, tahun pertama gadis itu bersekolah di seko...