Karena Bukan Dirinya - Part 29

528 14 0
                                    

Anaz berjalan menuju lobi. Ia mendapati mobil Steve sudah menunggunya. Anaz segera masuk ke dalam mobil dan Steve, yang bernampilan segar segera menyapanya. Rasanya aneh sekali saat pria itu bersikap terlalu baik kepadanya. Anaz hanya tersenyum samar.

"Bagaimana harimu?" Steve menoleh, berusaha mendapatkan senyum dari Anaz yang mahal sekali.

"Hm...rasanya aku ingin pulang setiap saat," Anaz menjawab dengan ketus.

"Ayahmu ingin menemuimu sepulang sekolah. Kurasa kau tidak ingin pulang hari ini." Steve masih berusaha menoleh. Tapi, yang ia katakan memang sebuah kenyataan.

Anaz segera menoleh dengan cepat, "Mengapa ia memberitahumu lebih dulu ketimbang aku?"

"Karena aku mendengarkannya, Anaz. Kau tidak," Steve menjawab dengan spontan.

Anaz hanya terduduk dengan lemas, "Aku hanya tidak memiliki alasan untuk mendengarkannya. Setiap aku dimarahi, aku selalu bergantung pembelaan Ibuku. Tetapi nyatanya, Ibuku juga takut padanya."

"Terdengar lumrah," Steve mengangkat kedua bahunya. "Aku ingin menanyakan ini denganmu." Suasana mulai serius. "Pria yang kulihat dibantu Ayahmu lewat program Kartu Sehat mirip sekali dengan pria itu."

Jantung Anaz berdegup kencang. Syukurlah Steve takkan mampu mendengarnya. "Program itu bahkan sudah terdengar konyol. Kau membaca artikel semacam itu?"

Steve menggeleng, "Itu sangat hebat. Anastacia, Ayahmu adalah seorang Gubernur. Kebijakannya pasti bijaksana."

Anaz memainkan ujung-ujung rambutnya, "Aku tidak membaca artikel yang kau maksud. Jadi aku tidak mengerti."

Steve tertawa kecil, "Lagipula, apakah masuk akal jika...," Steve berhenti berbicara.

"Apakah masuk akal jika pria yang baru saja menghajarmu ternyata sudah koma berbulan-bulan?" Anaz menoleh. Nadanya terdengar begitu tegas dan tajam, "Tentu saja hal itu tidak masuk akal." Anaz tertawa canggung.

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud berpikir pria itu mengidap penyakit. Tapi, memang semuanya tidak masuk akal," Steve kembali berbicara dengan nada penuh bercanda.

"Tak masalah. Lagipula, melupakan pria seperti itu adalah hal yang mudah." Setidaknya, Anaz ingin meyakinkan dirinya sendiri akan hal itu. Bahwa melupakan Hans Joseph akan menjadi pekerjaan mudah.

Wajah Steve terlihat lebih baik, "Sungguh melegakan. Ayahmu akan seratus kali lebih bahagia mendengarnya."

Sesampainya di rumah dinas, Anaz masuk dengan ragu. Ayahnya sedang terduduk di meja Gubernur dengan telepon yang baru saja ditutup. Pakaiannya rapi dan kantung matanya besar seperti biasa. Sedangkan, Steve menunggu di parkiran. Anaz akan membunuhnya jika berani menguping pembicaraan ayah-anak.

Anaz duduk di hadapan Ayahnya, seperti biasa. Tapi kali ini, pandangan Ayahnya agak berbeda. Bukan ingin memaki, tetapi terlihat lesu dan bersedih.

"Daddy?" Anaz menatap Ayahnya yang terlihat berpandangan kosong.

"Daddy ingin membicarakan pria itu. Sang jurnalis yang makan malam bersama kami," ia memulai dengan kalimat misterius, namun berakhir sangat gamblang.

Anaz merapikan posisi duduknya. Sejujurnya, hal ini begitu membuatnya tegang.

"Ia teman lombamu, bukan?" Ayahnya memberikan banyak jeda yang panjang untuk membiarkan Anaz mengangguk. "Meskipun Ibumu berusaha menyembunyikan foto itu darimu, tetapi Daddy yang membayar orang itu dan foto kalian selama berlomba sudah sampai ke tanganku."

Anaz tersentak. Tapi, ia berakting santai. Ia berusaha mengangguk dengan anggun. Ia sudah siap menerima ucapan apapun.

"Dad inginkan kamu, sebagai anak bungsu, agar bahagia. Anastacia Charlotte, anakku yang paling manja, tolong dengarkan ini baik-baik." Ia melepas kacamatanya dan duduk menopang dagu, menatap anaknya.

PAINFUL LIES (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang