Sekolah Anaz berjalan lancar. Ia mendapatkan prestasi gemilang. Ia selalu mendapat pujian dari guru di kelasnya. Karena ia begitu radikal dan kritis dalam berpikir. Sudah tiga bulan sejak ia bersekolah. Ia semakin dekat dengan Anto. Setiap pagi, Anto akan menyapa Anaz yang menggunakan kacamata hitam berbeda-beda. Anaz selalu melihat Anto dengan sepedanya melaju menghampirinya.
"Jadi, kamu mendekati anak walikota itu?" tanya Austin, pria teman sebangku Anto yang setiap hari sukarela berdiam diri dan menatap Anto belajar.
Anto pura-pura tidak mendengarnya. Ia tetap memfokuskan matanya membaca buku fisika yang dipenuhi coretan tangannya.
"Anto, kali ini kamu harus menjawabnya. Apakah kamu akan serius dengannya? Atau hanya menguji bahwa kamu setampan itu?" Austin dengan paksa merebut buku Anto dan itu membuat Anto tidak memiliki pilihan lain.
"Ulangan fisika ini masih tiga hari lagi," Austin menambahkan dan menutup buku itu rapat-rapat.
"Apa pertanyaanmu tadi?" Anto masih tetap berusaha mengulur waktu.
"Kau dengan Anaz. Anastacia Charlotte nampak begitu suka denganmu, entahlah itu yang kutangkap saat menjadi mata-mata kalian," Austin mengatakannya dengan nada menyesal telah mengatakannya.
"Bianca menyuruhmu menjadi mata-mataku?" Anto hanya menanggapi bagian itu. Sejujurnya ia sangat senang mendengar ucapan Austin tadi.
"Tidak. Aku hanya penasaran. Setidaknya, hargailah, aku sudah jujur padamu," Austin menundukkan kepalanya.
Anto diam sejenak dan mulai berpikir.
"Ya, aku rasa aku mendekatinya. Tidak, aku tidak sedang menguji ketampananku," Anto menjawabnya dengan yakin.
"Benarkah? Kau serius dengannya?" Austin mulai mengerutkan dahinya.
"Jika menguji ketampanan, sudah terbukti dari Bianca Aurel. Ia mengerjarku setengah mati," dengan sedikit rasa bangga, Anto menegaskannya.
Austin mendecakkan lidahnya, "Hey pria dengan sepeda! Kau tidak tahu siapa yang mengantar Anaz setiap hari?"
Anto mengangguk santai, "Steve Liem? Dengan Jaguar?"
Austin menepuk dahinya, "Lalu? Kau masih menghampirinya setiap hari?"
Anto mengangguk lagi, "Itulah aku. Aku akan berusaha. Aku yakin Anaz merasa nyaman di dekatku. Ia selalu bercerita betapa menyebalkannya Steve."
Austin berusaha berpikir sejenak dan menjentikkan jarinya, "Itu artinya ia menganggapmu teman curhat. Ia merasa nyaman denganmu, tidak lebih."
"Kau iri padaku? Katakan saja," Anto dengan nada kesal menoleh pada temannya.
"Tidak. Tentu tidak. Baiklah, anggap saja Anaz juga menyukaimu. Lalu? Kau berani menemui Ayahnya? Mengatakan, 'Saya lebih pantas menjadi pacarnya daripada Steve'?" Austin mengatakannya dengan tertawa terbahak-bahak.
"Mengapa kau terpikirkan hal seperti itu?" Anto mengerutkan dahinya dan tidak nampak terhibur.
"Karena itu sesuatu yang harus kamu hadapi. Cepat atau lambat, Anaz akan menyukaimu. Aku jamin itu," dengan percaya diri, Austin menyimpulkan.
Anto terdiam. Ia berpikir sejenak. Ia menggaruk-garuk pelipisnya.
"Maafkan aku teman. Aku hanya bercanda. Sudahlah, jangan berpikir terlalu keras," Austin mulai merasa bersalah karena membuat Anto tidak tenang.
"Baiklah," Anto menjawab. Tidak. Ia berpikir sangat serius. Jika ia tidak pernah berani menghadapi Ayahnya, jika Ayahnya tidak akan pernah menerima kehadirannya, ia hanya tidak akan pernah bersama Anaz. Sesederhana itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/134395208-288-k196072.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PAINFUL LIES (COMPLETE)
Romance#1 Kisah SMA "Do you love me?" always be the same question "No. I don't." always be the same lie ... Kisah ini menceritakan seorang gadis yang tujuh belas tahun hidupnya dihabiskan dalam rumah. Tahun ini, tahun pertama gadis itu bersekolah di seko...