Suatu Malam di Sebuah Taman - Part 16

634 11 0
                                    

"Aku dengar ada taman yang indah di sekitar sini," Joseph menekan tombol angka satu di lift. Hanya kami berdua, keadaan berbeda sekali dengan saat pertama kali sampai. Sudah sepi sekali seperti hotel pada umumnya.

"Ide bagus," sudah pasti jawaban Anaz seperti itu.

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak ditemani lampu-lampu taman yang indah. Keduanya berjalan berdampingan. Banyak pepohonan indah dan kursi taman yang rapi. Pemandangannya pun sangat indah, berupa kota yang sangat moderen dengan lampu jalan bersinar terang. Bintang seolah mudah diraih. Suasana sangat romantis. Taman itu sangat sepi.

Mereka berdua duduk dengan pemandangan mengarah kehidupan kota. Mereka di sini, dataran tinggi yang begitu hening dan dingin. Joseph melepaskan jaketnya dan memakaikannya pada Anaz. Anaz tidak mampu menolaknya, ia hanya menyandarkan kepalanya bahu bahu Joseph, seraya jaket bomber milik Joseph menyelimutinya.

"Kau suka membaca buku?" Anaz memulai kalimatnya, mengikuti saran Jane.

"Tidak," jawab Joseph singkat.

"Mengapa tidak? Kau bisa mencoba membaca Hamlet," Anaz semakin bersemangat karena ia akan terlihat pintar.

"Hamlet?" itu adalah buku yang dibaca Joseph di restoran Paris saat pertama kali bertemu dengannya.

"Aku akan pinjamkan padamu hanya dua minggu. Karena buku itu amat berharga dan aku tidak mau kehilangannya terlalu lama," Anaz tertawa dan Joseph nampak tidak terhibur.

Joseph diam dan hanya mencium wangi rambut Anaz.

"Kau akan kuliah kemana?" Anaz cepat-cepat mengganti topik.

"Ke tempat yang jauh, Anaz," Joseph mengatakannya dengan nada terluka. Untuk saat ini, ia tidak peduli di mana Anto akan kuliah. Karena yang jelas, ia memang akan kuliah di luar negeri, entah di mana.

Anaz duduk dengan tegak, merapikan rambutnya, "Mengapa harus jauh?"

"Karena aku menginginkannya," Joseph menatap Anaz dalam-dalam.

"Jika aku tidak pernah bertanya, kau tidak akan pernah memberitahuku?" nada bicaranya mulai melemah.

"Bahwa aku akan pergi?"

Suasana diantara keduanya mulai menegang kembali. Wajah Anaz jelas-jelas menunjukkan ia tidak baik-baik saja.

"Kurasa kau tak perlu tahu," Joseph melanjutkan kalimatnya.

"Mengapa? Karena akhirnya kau bisa lepas dariku?" Anaz tersenyum samar.

"Karena kamu akan bersedih," Joseph mengangkat kedua bahunya.

"Jika kamu pergi diam-diam dan aku mendapat kabar dari orang lain, kurasa itu lebih menyedihkan," Anaz memutar-mutar kalimatnya.

"Apa gunanya bersedih?" Joseph berusaha mengambil kesimpulan dari gadis ekspresif itu.

"Louis, Louis," Anaz mendecakkan lidahnya dengan tak percaya, "Tentu saja aku akan bersedih jika kau harus pergi dan kita takkan bertemu kembali."

Joseph menelan ludahnya dan menatap Anaz tepat di bola matanya, "Kau punya seseorang di hatimu saat ini?"

Wajah Anaz menegang, ia mulai gelisah, menggerakkan tubuhnya sedikit demi sedikit dan tersenyum, "Kurasa ada."

"Cinta pertamamu?" jantung Joseph berdegup kencang, ia tidak berani berharap dan menebaknya.

"Ya. Cinta pertamaku," Anaz mengangguk dengan yakin.

Joseph tertawa, "Tidak ada hal semacam itu. Kau sudah delapan belas tahun dan tidak mungkin hanya menyukai orang yang sama."

PAINFUL LIES (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang