Kerinduan Di Tengah Kesepian - Part 5

797 16 0
                                    

Anaz memutar-mutar HPnya. Ia berbaring lemas di atas tempat tidurnya dengan buku pelajaran menumpuk di perut dan kakinya. Hazel, dengan setia menemani Anaz yang sedang bermalas-malasan di tengah waktu belajarnya. Anaz kembali home schooling karena setiap harinya, selalu saja ada jadwal kampanye atau bakti sosial bersama Ayahnya.

"Apa reaksi Louis membaca suratku?" gumam Anaz dan matanya mengarah pada langit-langit kamarnya.

Hazel segera terbelalak, "Surat seperti apa?" tanya Hazel yang sedang terduduk di meja rias kesayangan Anaz.

"Surat yang mengatakan aku akan pergi. Lebih tepatnya, mengancam dia agar tidak melupakanku," Anaz memejamkan matanya dengan gelisah.

"Itu surat pertamamu?" tanya Hazel dengan khawatir.

Anaz mengangguk, "Mungkin surat terakhirku. Apakah dia merindukanku? Dia mencariku atau tidak, menurutmu?"

"Menemukanmu sangat mudah, Anaz. Kau bisa dilihat di berbagai majalah...," Hazel belum selesai berbicara.

"Benar. Apakah Louis membeli majalah itu? Dalam surat itu, aku menyebutkan nama majalah di mana aku terpilih menjadi sampulnya. Aku terdengar begitu bodoh sekarang," gerutu Anaz dengan nada malas dan mata mengantuk.

"Kau tidak punya nomornya? Atau kontaknya?" Hazel mencondongkan tubuhnya dengan wajah tertarik.

"Untuk apa semua itu?" gumam Anaz yang memejamkan matanya.

Hazel menepuk dahinya, "Astaga. Itu seharusnya yang kamu miliki saat pertama kali kamu mengenalnya. Mintalah kontaknya!"

Anaz terduduk dan otomatis bukunya berjatuhan ke kakinya. Rambutnya kusut karena ia sudah berbaring malas cukup lama.

"Aku tidak memiliki kontak siapapun. Oh, ada Steve," Anaz melanjutkan kalimatnya dengan wajah heran.

Suasana hening sejenak. Lalu, Anaz melanjutkan kalimatnya, "Lagipula pria itu tidak memberikannya padaku."

"Itu sebabnya kamu harus memintanya," Hazel menjawab dengan nada kesal.

Anaz mengangguk acuh tak acuh, "Lalu apa yang akan terjadi jika aku memiliki kontaknya?"

"Kau bisa bertanya apa kabarnya. Kau bisa mengobrol dengannya," Hazel meninggikan nada bicaranya.

"Bisakah kau carikan nomornya kalau begitu?" Anaz menatap Hazel dengan wajah menyebalkan.

"Tentu tidak. Bagaimana...?" Hazel menahan kalimatnya.

"Lalu, apa bedanya aku dan kamu? Sama-sama tidak bisa mendapatkan kontaknya. Kamu pun tidak lebih baik," gerutu Anaz dengan wajah kesal.

Hazel tidak menanggapinya. Ia hanya menghela napasnya dengan tabah.

"Lihat saja, aku akan kembali ke sekolah itu dan bertemu Louis kembali," Anaz mengepal tangannya kuat-kuat dengan percaya diri.

"Bagaimana jika Louis lupa padamu?" tanya Hazel dengan suara pelan.

"Dia tidak mungkin lupa. Aku...sangat cantik dan tidak mudah dilupakan," Anaz menjentikkan jarinya dengan bangga.

...

Berbulan-bulan kemudian. Satu hari sebelum pemilihan gubernur...

"Sebentar lagi, kau akan masuk sekolah kembali. Tidak terasa kamu akan segera masuk menjadi murid kelas sebelas," Nyonya Sanjaya mengelus rambut anaknya itu dengan lembut.

"Aku sudah berkorban sebanyak ini. Dad harus menang karena aku kehilangan banyak hal," gerutu Anaz dengan senyum gugupnya.

"Tentu. Terimakasih banyak, Anaz, anak kesayangan Mom yang paling cantik," ia tersenyum lebar.

PAINFUL LIES (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang