Kesadaran Untuk Mundur - Part 18

581 19 0
                                    

Anaz masuk kedalam kamarnya. Ia membaringkan tubuhnya dengan sangat lemas. Ia merasa begitu mengantuk. Saat, Ibunya masuk tanpa mengetuk pintu ke dalam kamarnya.

"Bisakah kau mengetuk...," Anaz terbangun saat mendapati wajah marah Ibunya. Suasana menjadi mencekam untuk sesaat.

Ibunya duduk dengan kesal di atas tempat tidurnya. Rambut hasil dari salon miliknya nenambah efek galaknya. Ia melemparkan sekitar lima sampai delapan buah foto ukuran 4R di atas meja belajar Anaz.

Anaz cepat-cepat berdiri dan melihat foto-foto itu. Itu adalah fotonya dengan Joseph. Foto di malam romantis mereka di hari pertama lomba. Saat keduanya berpelukan, Anaz menyandarkan bahunya pada pria itu, Anaz memandangi bintang bersamanya, dan Anaz berjalan bersama pria itu dengan wajah tertawa.

Tubuhnya gemetar. Tangannya mengangkat foto itu, "Mom, kau mengirimkan orang untuk memfotoku?"

Ibunya mengangguk, "Ayahmu adalah orang nomor satu di provinsi ini. Tentu saja kau tidak bisa seenaknya seperti itu."

"Mengapa aku tidak menyadarinya...," Anaz bergumam dan matanya masih mengamati satu per satu. Kenangan itu masih membekas sempurna dalam ingatannya.

"Sejak kapan kalian seperti ini?" Ibunya begitu serius. Tidak ada celah untuk bercanda dengannya saat ini.

Anaz hanya menggelengkan kepalanya dengan tak percaya, "Aku dan Louis hanya berteman. Kita teman."

"Oh benar. Namanya Louis Antonio, pria terpintar di sekolahmu," ia seolah sudah menghapal profilnya. "Kasta ketiga di sekolahmu."

Anaz hanya duduk dengan kesal di kasurnya, "Lalu mengapa? Iya, benar, ia hanya kasta ketiga."

Ibunya menggelengkan kepalanya, "Ayahmu belum melihat semua ini. Harusnya kamu berterima kasih."

"Aku benar-benar tidak boleh bersamanya?" Anaz mengatakan ini seolah hubungan mereka sudah begitu serius. Padahal Joseph tidak berbicara dengannya semenjak berhari-hari.

Tatapan Ibunya melemah. Ia menatap Anaz yang berkaca-kaca memegangi fotonya, "Mom hanya inginkan kamu bahagia. Tapi Ayahmu tidak akan membiarkanmu bahagia jika bersamanya."

Air mata Anaz menetes membasahi jaketnya. Ia menghapus air matanya dengan jari jemarinya secara perlahan-lahan. "Apa yang terjadi kalau Dad melihat ini?"

"Pertama, ia akan memarahimu dan menanyakan hal yang membuatmu harus mengaku. Jika kamu masih membantahnya, hal kedua yang akan dilakukan adalah menemui pria itu secara langsung. Ketiga, memindahkannya atau memindahkanmu," ia menjelaskan dan mengacungkan ketiga jarinya.

Anaz menggeleng, "Kumohon, jangan biarkan Daddy melihat ini semua." Wajahnya memerah, disertai air mata yang mengalir semakin deras. Mendengarnya saja membuat dirinya merinding.

"Benar. Anakku sudah dewasa," ia mengelus lembut kepala Anaz. "Kuingat bagaimana kamu akan menurut pada Ayahmu hanya dengan lima buah balon helium. Sekarang kamu sudah jatuh cinta dan itu mematahkan segalanya."

Anaz memeluk Ibunya dengan hangat, "Ya, Mom benar. Aku jatuh cinta padanya dan itu membuatku akan terus membelanya."

Ibunya mengelus punggung Anaz, "Simpan foto ini baik-baik. Jangan sampai ada orang lain yang melihatnya."

Anaz melepaskan pelukannya, "Aku benar-benar tidak boleh bersamanya?"

"Kalau boleh jujur, tentu saja tidak. Ayahmu menginginkan pria kaya dan sukses, tanpa peduli apa perasaanmu. Aku tidak memilih Ayamu," Ibunya mulai membuka suara.

PAINFUL LIES (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang