"Anaz bisa. Anaz bisa," ia sedaritadi terus mengoceh dalam hatinya dan sudah menghapal seluruh rumus yang memungkinkan ditampung oleh otaknya.
Ia duduk sendirian di ruang serba guna yang biasa digunakan para guru untuk rapat. Sangat dingin sehingga ia sudah menggigil sebelum melihat soalnya. Sudah lima menit ia duduk dan tidak ada tanda-tanda siapapun masuk kedalam ruangan itu.
Tak lama, Joseph melangkah masuk dan duduk di hadapan Anaz. Keduanya sama-sama terkejut. Keduanya sama-sama mematung. Anaz tercengang sementara Joseph terbebalak melihatnya.
"Kau rupanya...," Joseph mengucapkannya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Anaz dengan begitu terkejut, namun juga senang berusaha bersikap dingin kearahnya.
Joseph menyodorkan kertas soal yang ia buat semalaman.
"Menurutmu? Tentu saja membuat soal," jawab Joseph dengan nada tinggi.
"Kau yang membuat soal?" Anaz agak terkejut.
"Grup olimpiade biologi, matematika, fisika, dan bahasa Inggris diketuai oleh diriku," Joseph menyatakannya dengan bangga.
Anaz menunjukkan wajah kagumnya, "Woah. Keren," jawabnya dengan nada sarkastis.
Joseph menyandarkan bahunya, "Kerjakan saja. Waktumu empat puluh menit."
Anaz menengadah, "Dua puluh soal dan empat puluh menit? Aku tidak memercayai soalmu," jawabnya dengan spontan.
"Berapakah nilai yang harus kuperoleh agar bisa ikut?" Anaz kembali menengadah.
"Kerjakan saja," jawab Joseph.
Sepuluh menit sudah berlalu. Ia melihat wanita itu sangat bersungguh-sungguh. Soal yang Joseph buat memang sangat sulit bahkan gurunya pun kadang tak mengerti. Anaz terlihat menghitung sampai pensilnya patah berkali-kali. Joseph tidak mengalihkan pandangannya dari wanita itu. Ia tidak hanya melihat Anaz bersusah payah. Tetapi ia juga melihat wanita itu kedinginan, sangat.
Joseph berdiri dan melangkah keluar ruangan. Anaz bahkan tak sadar akan hal itu. Joseph masuk kembali dan membawakan remote AC. Ia mematikan pendingin ruangan dan suaranya menyadarkan Anaz. Anaz menoleh dan melihat Joseph berdiri dan mematikannya.
"Terimakasih," jawab Anaz singkat. Tetapi sesungguhnya ia sangat senang.
Empat puluh menit berlalu sangat cepat. Anaz nampaknya baru bisa menyelesaikan sampai nomor lima belas. Itu pun ia sama sekali tidak yakin. Entahlah, sepertinya ia akan dapat empat puluh?
Pria itu memeriksanya dengan wajah meyakinkan.
"Kau hapal semua jawabannya?" Anaz berusaha membuyarkan konsentrasinya.
Pria itu memeriksa tanpa catatan apapun.
"Aku tidak hapal. Tetapi aku mengerti," jawab Joseph dengan meyakinkan.
Kemudian, Joseph menengadah dan menatap Anaz yang memiliki wajah selalu bersinar. Wanita itu hanya saja...sangat cantik saat ini.
"Seberapa kau ingin ikut olimpiade ini?" tanya Joseph.
"Aku sangat ingin," jawab Anaz singkat.
Joseph mengangkat kedua alisnya, "Bisakah kau memberikan jawaban yang sedikit lebih panjang?"
Anaz mengangguk, "Louis, aku tahu mungkin kamu dan seluruh murid di sekolah ini meragukanku. Bahkan kedua orang tuaku pun menganggap keahlianku hanyalah berbelanja online. Jika aku ikut olimpiade ini, aku akan menunjukkan bahwa Anastacia itu cukup pintar. Setidaknya, sepanjang sejarah sekolah ini berdiri, hanya aku satu-satunya murid IPS yang berani mencalonkan diri. Aku belajar sungguh-sungguh sepanjang malam. Aku berjanji tidak akan mengecewakan tim. Aku akan menjamin medali emas untukmu, Louis," jawab Anaz dengan penuh keyakinan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAINFUL LIES (COMPLETE)
Romance#1 Kisah SMA "Do you love me?" always be the same question "No. I don't." always be the same lie ... Kisah ini menceritakan seorang gadis yang tujuh belas tahun hidupnya dihabiskan dalam rumah. Tahun ini, tahun pertama gadis itu bersekolah di seko...