62─lost

2.6K 455 28
                                    

Seminggu berlalu semenjak terakhir kali Irene ke apartemen Sehun dan mengurus pemuda itu kala sakit. Namun hari ini, Sehun kembali tak masuk sekolah. Irene sudah menghubungi Sehun, menelpon pemuda itu berkali-kali dan mengirim puluhan pesan yang sama sekali tidak berguna.

Perasaan Irene mendadak tak enak. Tak biasa Sehun seperti ini. Jika dia absen, dia pasti akan memberitahu Irene sebelumnya. Tapi kali ini, pemuda itu hilang tanpa kabar. Teman-temannya pun tak tahu dia pergi ke mana.

Sehun tak pindah diam-diam kan? Dia tidak meninggalkan Irene tanpa mengucapkan selamat tinggal kan?

Irene menjadi gelisah sendiri. Materi yang diterangkan guru Choi bahkan tak berani masuk ke dalam kepalanya.

"Sehun, jangan menghilang seperti ini," lirih Irene pelan karena cemas.

Hingga bel pulang sekolah berbunyi, Sehun sama sekali tak bisa dihubungi dan tak membaca satu pun pesan yang Irene kirimkan. Irene was-was, takut jika sesuatu terjadi yang tak baik terhadap Sehun. Irene tahu Sehun tinggal sendiri, tapi tak tahu apa alasan pemuda itu tinggal sendiri.

Jangan-jangan Sehun tergelincir di kamar mandi?

Ah, Irene menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sekarang bukan waktunya berpikiran negatif. Dia harus ke apartemen Sehun dan bertemu dengan pemuda yang membuatnya uring-uringan itu.

Sesampainya di sana, Irene bertemu dengan tetangga Sehun. Tetapi alangkah kagetnya gadis itu ketika wanita berusia sekitar kepala tiga itu memberitahu kalau Sehun tak pulang semalam. Irene tak tahu bagaimana wanita itu bisa tahu, tapi sepertinya wanita itu memang benar. Saat Irene tadinya sudah menekan bel berulang-ulang, pintu sama sekali tak terbuka.

Gadis itu mulai merasa putus asa. Mencoba kembali menelpon ponsel Sehun. Jangankan diangkat, panggilan saja tak terhubung. Jantung Irene jadi bertalu-talu tak nyaman. Matanya mendadak berkaca-kaca, dia benar-benar kelewat khawatir dengan kondisi Sehun. Berbagai spekulasi buruk bermunculan tanpa izin di kepalanya membuatnya kalang kabut.

"Sehun, ke mana kau sebenarnya? Kau baik-baik saja kan?" Gumam Irene sendirian, menatap pesan-pesan yang dia kirim pada Sehun yang jumlahnya hampir seratus.

Langit mulai terlihat mendung, belakangan ini hujan memang sering turun. Belum lagi, petang telah menyapa. Irene yang tak tahu harus mencari Sehun ke mana lagi, memutuskan untuk pulang. Dia berharap Sehun segera menelponnya balik atau sekadar membaca pesannya agar dia tahu kekasihnya itu dalam kondisi baik-baik saja.

Petang telah berganti malam ketika Irene sampai di rumah. Hujan cukup deras sudah turun sedari tadi. Untung saja Irene kebetulan membawa payung hari ini. Irene mengganti seragamnya dengan baju tidur. Dia bahkan tak berniat untuk membasuh tubuh atau mengisi perutnya. Dia terus-menerus memikirkan Sehun. Di mana pemuda itu, apa yang dia lakukan sampai-sampai tak sempat memberikan kabar, Irene penasaran akan hal itu.

Irene bergerak mendekati jendelanya. Menatap sendu langit malam yang semakin gelap karena hujan masih turun. Semakin deras membuat suhu juga ikut turun. Saat hendak kembali ke kasur, mata Irene tak sengaja menangkap sosok pemuda tengah bersender di pagar rumahnya. Berdiri di depan pagar rumahnya, dibasahi oleh air hujan yang dinginnya menusuk tulang.

Tanpa berpikir apa-apa lagi, Irene segera keluar dari kamarnya dengan terburu-buru menuju tempat pemuda itu berdiri. Irene kenal betul punggung itu. Sakin bergegasnya, Irene bahkan tak menghiraukan panggilan ibunya. Dia segera membuka pintu utama rumahnya, membuka payung yang sempat diraihnya dan berjalan menghampiri sosok pemuda yang tak lain adalah Sehun itu.

"Yak! Oh Sehun! Bodoh! Anak ayam! Ke mana saja kau laki-laki jahat?! Hah?!!"

Irene segera mengeluarkan semua uneg-unegnya dan memukul lengan Sehun pelan. Sepayung berdua, dia menangis di depan pemuda yang justru tersenyum tipis padanya itu. Irene semakin kesal, dia sudah cemas sampai nyaris mati rasanya, Sehun malah tersenyum seperti itu.

"Kau tidak tahu bagaimana khawatirnya aku, eoh? Kau ingin membuatku mati karena cemas?" Tambah Irene lagi yang membuat tangan Sehun terulur untuk mengusap air mata gadis itu yang sudah merembes sejak tadi.

Sehun kemudian merengkuh tubuh mungil Irene yang membuatnya merasa hangat. Ditenggelamkannya wajahnya di ceruk leher gadis itu. Irene membalas pelukan Sehun dengan erat setelah melempar payungnya begitu saja, dia tak mau kehilangan pemuda itu barang sedetik saja.

Tetapi, Irene tertegun kala mendengar isak tangis dari bibir Sehun yang masih memeluknya. Meski suara hujan menggetarkan hati, suara Sehun berhasil membuat hati Irene tergores. Sehun terasa begitu rapuh saat ini. Begitu berbeda dengan Sehun yang selalu ceria menggodanya dan menjahilinya. Tangis Sehun semakin memilukan membuat Irene ikut larut. Air mata gadis itu menyeruak keluar, meski begitu dia sama sekali tak mau bertanya. Dia ingin Sehun melampiaskan segalanya dengan simbol air mata.

"Rene, kedua orang tuaku bercerai. Keluargaku hancur. Hatiku rasanya ditusuk-tusuk, sakit sekali. Mereka bahkan tak ingin menerima hak asuh atas diriku. Aku benar-benar tak diinginkan," vokal Sehun dengan suara bergetar. Irene akhirnya paham, apa penyebab Sehun menghilang satu hari ini.

Gadis itu memutuskan untuk membiarkan Sehun menenangkan hati dan pikirannya sebelum dia bertanya lebih lanjut soal keluarga pemuda itu.


  🍬🍬🍬  


ngefeel gak ya? kayaknya sih enggak :" 

Cotton CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang