02

1.5K 203 36
                                    

Author's POV

Aster meraih alarm nya yang sudah berisik mengeluarkan suara yang membuat tidurnya terganggu. Setelah ia berhasil mematikan alarm itu, ia mengusap matanya sampai ia rasa matanya cukup kuat untuk terbuka. Setelah matanya terbuka, ia berjalan ke kamar mandi yang ada di kamarnya, mencuci wajah dan menggosok giginya. Setelah itu ia berjalan keluar kamar menuju dapur untuk membuat sarapan. Namun baru saja Aster ingin mengambil beberapa bahan makanan untuk dimasak, ia melihat piring berisikan empat sandwich di atasnya. Alisnya berkerut. Siapa yang mbuat ini? Dia kan tinggal sendiri— lupakan. Sekarang ia tinggal berdua.

Aster pun mengasumsikan bahwa pembuat sandwich itu adalah Harry. Ia berjalan mendekati sandwich itu dan menatapnya. Seperti layaknya seorang juri yang menilai sebuah masakan, ia mencicipi sedikit sandwich itu. Saat sedang mengunyah, seseorang menutup matanya dari belakang. Aster meraba tangan yang menutupi matanya dan terus berusaha menjauhkan tangan itu dari matanya. "Morning Aster."

Aster menghadap belakang menatap Harry kesal. Harry hanya tertawa kecil melihat ekspresi wajah Aster yang kesal. Aster kembali menghadap depan lalu menarik kursi meja makan dan duduk. Harry pun menarik kursi yang ada di depan Aster lalu duduk. Harry diam memperhatikan Aster yang sedang memakan sandwich buatannya. "Kenapa kau melihatku seperti itu?"

"Kau cantik. Jadi kekasihku?"

Aster membelakkan matanya lalu melempar Harry dengan sendok yang ada di atas meja makan tapi meleset. "Kau gila."

"Aku hanya bercanda." Ucap Harry lalu ia mengambil sandwich dan memakannya. "Aku tahu ini rasanya tidak enak. Tapi aku mencoba untuk membuatkanmu sarapan. Yeah, hitung-hitung sebagai imbalan karena kau sudah mengizinkanku untuk tinggal disini."

"Ini tidak terlalu buruk." Aster mengambil segelas air lalu meneguknya. "Aku hari ini kerja."

"So?" Tanya Harry dan itu membuat Aster kesal.

"Makdsudku, apa kau tidak apa kalau kutinggal sendirian?"

"Apa aku terlihat seperti anak kecil yang baru berumur lima tahun dan penakut? Aku tahu aku ini menggemaskan tap—" Aster menyumpal mulut Harry dengan sisa sandwich yang ada di meja.

"Anak siapa dia ini." Ucap Aster lirih sambil membuang wajahnya dari Harry lalu kembali menoleh kepadanya. "Jika kau tidak akan keluar apartemen, aku akan mengunci pintu apartemen dari luar dan membawa kuncinya."

"Kau tidak mempunyai kunci cadangan?"

Aster menggeleng. "Kunci cadanganku hilang."

Harry mengangguk mengerti. "Aku tetap disini."

"Baiklah," Aster bangkit berdiri. "Eh, kau berhutang cerita padaku."

"Hah? Cerita apa? Cerita cintaku?" Tanya Harry beruntut.

"Bukan. Tapi kau harus bercerita kepadaku kenapa kau tidak punya tempat tinggal."

Harry terkekeh. "Gampang. Ceritanya adalah aku diusir oleh kedua orang tuaku dan kakakku yang tinggal di apartemen ini tidak mau menampungku. Selesai."

"Pantas saja mereka mengusirmu. Kau gila." Ucap Aster.

"Hey, bukan karena itu. Aku terlalu tampan untuk menjadi bagian keluarga mereka, maka dari itu aku diusir karena mereka tidak mau mempunyai anggota keluarga setampan aku."

Setelah mendengar kalimat itu, Aster berpura-pura muntah. "Terserah. Aku mau mandi."

"Aku ikut." Teriak Harry. Aster menghentikan langkahnya menatap Harry tajam.

"Aku akan memotong kemaluanmu."

»

"Hai Aster!" Florence berteriak menyapa Aster yang baru saja masuk kedalam café alias tempatnya bekerja. Ya, ia bekerja sebagai pelayan di sebuah café yang tidak jauh dari gedung apartemennya. "Bagaimana dengan stranger itu?"

Aster memutar matanya mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Florence. "Gila, mesum, dan menyebalkan. Uhm tapi ada kelebihannya juga dia tinggal di apartemenku."

"Apa kelebihannya?"

"Dia membuatkan sandwich tadi pagi. Rasanya tidak buruk."

Florence mendekatkan bibirnya kepada telinga Aster. "Apa dia tampan?"

Aster memukul lengan temannya itu. Florence terkekeh karena Aster memukul legannya. "Damnit, Flo. Aku ingin berganti baju dulu."

Setelah Aster mengganti bajunya dengan seragam kerjanya, ia berjalan kearah mesin kasir dan menyiapkan segala sesuatunya sebelum café ini kedatangan pengunjung.

»

Sekarang sudah jam lima sore dan café akan tutup pada jam enam sore. Memang hanya sebentar karena pemilik café ini tidak mau bekerja sampai malam entah kenapa. Jadi pekerjaan Aster tidaklah berat.

Suara lonceng pintu terdengar ketika seseorang masuk kedalam café. Aster mendongak dan terkejut mendapati siapa yang masuk kedalam café. Aster diam membeku di tempatnya berdiri memandang pria itu berjalan menuju kearahnya. "Sore."

"S-sore." Balas Aster gugup.

Pria itu mengerutkan alisnya heran karena Aster melihatnya seperti sedang melihat hantu. "You okay?"

"Im o-okay." Jawab Aster.

"Aku tidak yakin. But wait," Pria itu mendekatkan wajahnya kepada wajah Aster dan itu membuat jantung Aster tambah berdetak kencang. "Sepertinya aku mengenalmu."

"T-tidak. Kau tidak mengenal—"

"Aster Richardson. Gadis yang pernah bercinta denganku semasa kuliah. Benar?" Potong pria itu.

"Kau masih mengingatku?" Tanya Aster masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sedangkan pria itu terkekeh.

"Tentu saja. Ah ya, bisa aku minta vannila latte satu?" Ucap pria itu. Aster pun mengangguk dan mengetik di mesin kasirnya. "Kapan café ini tutup? Mengapa sudah sepi?"

"Café ini tutup satu jam lagi." Jawab Aster lalu ia menyebutkan total harga kepada pria itu. Lalu pria itu memberikan uangnya kepada Aster dan Aster memberikan kembalian untuknya. "Silahkan tunggu pesananmu."

Pria itu mengangguk dan tersenyum. Namun saat pria ini berbalik, dia mengurungkan niatnya lalu kembali berbalik menghadap Aster. "Uhm, aku akan mengantarmu pulang. Aku akan disini sampai café ini tutup."

»

Holaaa!

Eh, makasih loh yang udah baca sama vote cerita ini. Keep voting and reading!

All the fookin' love
—Nida

Him And I » Styles [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang