24

655 139 32
                                    

Aster's Pov

Blake merangkul bahuku seraya kami berjalan di lorong rumah sakit. Sungguh, aku merasa sangat sedih melihat dan mendengar perkataan Harry kemarin. Namun ini juga salahku. Ini hanya salah paham sebenarnya. Bagaimanapun juga, aku harus bisa menyelesaikan kesalah pahaman ini.

Tak lama kami pun sampai di depan pintu kamar rawat Harry. Blake memegang tanganku dan tersenyum kepadaku. "Aster, aku menunggu disini. Oh god, ini langka. Kita sangat akur dari kemarin."

Aku terkekeh. "Aku membencimu." Ucapku dan ia malah ikut terkekeh.

"Masuklah."

Aku mengangguk. Aku memutar tubuhku menghadap pintu dan mengatur nafasku. Aku takut kejadian kemarin akan terulang kembali. Kalaupun iya, kali ini aku harus bisa menahan perasaanku dan mencoba menghadapinya. Ya, aku pasti bisa.

Aku mengarahkan tanganku ke kenop pintu dan memu— shit, pintunya terbuka sebelum aku membukanya.

"Aster?" Itu Beverly. Aku tersenyum kepadanya.

"Hai, Beverly. Uh-uhm a—"

"Ingin menemui Harry?" Ia memotong kalimatku. Apakah ia marah?

Semoga saja tidak.

Aku mengangguk. "Kebetulan aku ingin menyusul Anne dan Gemma di kafetaria. Bisa tolong jaga Harry?"

"Ya, tentu saja." dia kekasihku, bodoh.

Beverly tersenyum. "Thanks. Dan," dia menoleh kebelakangku. Ah, pasti Blake. "Siapa dia? Kekasihmu?"

Bukan, tolol. Dia adikku. Kekasihku ada di dalam. Dia sedang sakit. "Ah, bukan. Dia adikku."

Blake tersenyum dan mengulurkan tangannya kepada Beverly. "Blake. Adik Aster."

"Beverly. Ah ya, aku pergi dulu." Beverly pun pergi. Aku kembali menoleh kepada Blake.

"Kau ikut kedalam?" Tawarku dan ia menggeleng. Aku tersenyum singkat kepadanya lalu memasuki ruang rawat Harry. Hening dan sangat sejuk. Namun hal yang menganggu adalah bau obat-obatan yang menyeruak masuk kedalam hidungku. Ini yang aku benci dari rumah sakit. Lupakan, aku kesini untuk Harry.

Aku mengarahkan mataku ke ranjang Harry. Dia disana sedang tidur dengan pulasnya. Wajahnya masih terlihat pucat namun lebih baik dari kemarin. Wajahnya masih memiliki sedikit luka lebam.

Aku menjadi merasa bersalah.

Aku perlahan berjalan ke samping ranjangnya dan duduk di kursi yang ada disana. Aku memperhatikan wajah Harry yang sangat damai dan perlahan meraih tangannya. Aku berusaha sepelan mungkin agar ia tidak terbangun.

Aku mengelus lembut rambuntnya, mencium tangannya dan mengelus pipinya. Aku merindukan pria konyol ini. Dia yang selalu membuatkanku makanan, mengangguku, membuatku marah, tertawa, dan yang lainnya. Mungkin jika ia tidak mengemis untuk tinggal di tempatku, aku sudah pasti akan kesepian di apartemenku sendiri.

Tak lama aku merasakan jarinya bergerak dan suara erangan keluar dari mulutnya. Sialan, ia terbangun. Apa aku membuat suara yang keras? Sial, aku menganggunya. Aku langsung menjauhkan tanganku darinya.

Dia perlahan membuka matanya dan melihatku. "A-aster?" Ucapnya dengan suara seraknya. Aku tersenyum.

"Hai."

Dia mengubah posisinya menjadi duduk dan tentu saja aku membantunya. "Hey, Pelan-pelan."

Dia tersenyum tipis kepadaku. "Thanks."

W-woah? Dia sudah tidak marah kepadaku? Dia sudah memaafkanku?

"Hey. You good?" Harry membuyarkan lamunanku. Aku pun mengangguk dan tersenyum kepadanya. Begitupun dengannya.

Aku merindukan senyuman berlesung itu.

"Uh-ehm boleh aku berbicara sesuatu denganmu? Ah, se-sebenarnya bukan membicarakan sesuatu. Tap-" Fuck, kenapa aku jadi ingin menangis? "A-aku uh-" kumohon, jangan menangis, astaga.

"A-aku—" stupid Aster. Aku menangis.

Harry mengusap air mataku. "Hey, kau menangis? Jangan menangis. Kumohon, Aster. Jangan menangis, okay?"

Sial, sial, sial. Aku seharusnya meminta maaf, bukan menangis.

Aku mengusap air mataku namun kemudian aku merasakan tangan Harry mengelus kepalaku. Senyuman hangat terulas di bibirnya. Aku langsung merangkul tangannya. "K-kau tak marah? K-kau sudah memaafkanku?"

Dia mengangguk. "Aku tidak bisa marah denganmu, Aster." Aku kembali memeluk tangannya.

"H-harry. Maafkan aku. Itu hanya salah paham. Aku dan Louis hanya bekerja sama untuk membuat kekasihnya cemburu dan kami juga tidak berbuat apa-apa. Kami hanya teman, tidak lebih, Harry. Aku bersumpah. Ak—"

"Shhhhh, Aster sudah. Aku tidak ingin membahas itu lagi okay? Aku menganggap masalah ini sudah selesai. Aku sudah tidak marah lagi." Ucap Harry. Aku bangkit lalu membungkuk. Kuarahkan kedua lenganku untuk memeluknya.

"I love you. I'm so sorry for being a loser. I'm such a bitch, slut, and—"

"Aster, enough." Aku menggeleng.

"No, Harry. Itu memang aku. Aku menyia-nyiakan mu yang sudah jelas mencintaiku. Im wasting you. I miss you. Can we start it all over again?" Aku kemudian melepaskan pelukanku. Ia mengusap air mataku.

"You know? I miss you too. I miss your laugh, your smile, and all about you, Aster. I love you," Aku tersenyum. "Tapi kita tidak bisa kembali bersama, Aster."

Senyumku memudar. "W-why?"

"Because i decided to go back to London soon."

Uh- d-dia ingin kembali ke London? "W-why? You love me right?"

"I do love you. Tapi aku sadar Aster. Aku tidak seharusnya seperti ini. Aku mempunyai Beverly. Dan ini juga yang kau mau bukan?"

Aku membeku, diam, dan bisu. Jika aku bisa memilih waktu kematianku, aku ingin detik ini juga.

"Y-you alright?" Yes, Harry. Im totally fine.

Aku menangis dan kembali memeluknya. "H-how can you do thus to me, Harry? I know you want me. Please, don't go. Fuck with my words. Just please don't go. I need you."

"I-cant."

Aku terisak. "Kumohon Harry. Kita bisa mengulangnya dari awal. Kita bisa mengubah takdir kita. We can rewrite our stars."

Harry menggeleng. "No, Aster. We can't. No one can rewrite the stars."

»

Yhaa mampus gua gantung (lagi) hehe.

ILY.

Him And I » Styles [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang