PLM 9 ~ Married? No problem, but...

1.4K 71 0
                                    

"Menikah? Tidak masalah, tapi... mengapa harus dia? Bukan apa-apa, hanya saja dia bukan tipeku. Lagian aku belum siap berkomitmen."

-Oliver Leinster-

❤️❤️❤️

Marco menatap Oliver dan Joanna bergantian. Tatapannya menyiratkan sesuatu yang bahaya. Oliver yakin itu!

Marco menarik nafas keras dan mengembuskannya dengan kasar pula. “Kalian harus menikah!”

Semuanya terkejut tak terkecuali gadis yang berada disamping Marco. Terlihat gadis itu tidak terima atas ucapan mutlak dari pria paruh baya itu.

What??!! Married?! No!” teriak Joanna dan gadis itu bersamaan.

“Oliver… wanita itu siapa? Dan kenapa dia bisa ada di sini, di kamarmu? Kalian…” Gadis itu tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

Oliver tidak mengindahkan pertanyaan gadis yang bersama ayahnya itu. Ia masih melotot tak percaya karena ucapan ayahnya yang menyuruhnya menikah. Hallo? Masih ingat, Oliver belum siap berkomitmen! Terlebih jika ia harus menikah dengan Joanna. Gadis yang menjadi pelayan khususnya saat ini.

“Pa…”

“Seminggu lagi!” potong Marco tegas.

What the hell??!” jerit Olivia – nama gadis disamping Marco. Ia sudah mengerti maksud dari kalimat, ‘seminggu lagi’.

“Maksudnya?” Joanna bertanya.

“Pernikahan kalian!” jelas Marco pada Joanna dan Oliver.

Lalu, tanpa berkata lagi, Marco meninggalkan kamar Oliver dengan gagah.

Sedangkan Olivia masih setia berdiri di ambang pintu sambil memandang Oliver marah dan Joanna dengan pandangan mengejek. Kakinya ia langkahkan untuk mendekati kedua anak manusia yang tertangkap basah itu.

Sembari menyeringai jahat, Olivia berkata, “Oh… aku tahu! Kau tidak menjemputku, karena sedang asyik 'bermain' dengan wanita jalang ini?! Hebat sekali.” Jarinya memberi tanda kutip pada kata ‘bermain’.

“Heh! Jaga ucapanmu! Saya tidak serendah itu!” sanggah Joanna menahan api amarah yang mulai meledak.

Oliver memandang gadis di depannya tidak suka. “Olivia! Orang tuamu tidak mengajarkan kata-kata tak bermoral seperti yang kau ucapkan. Sekarang, tinggalkan kamarku!”

Olivia tidak mendengar apa yang dikatakan Oliver. Ia masih memandang jijik Joanna. Seakan, dengan ia melakukan itu, Joanna akan leyap begitu saja.

“Hanya wanita jalang yang mau diajak ke kamar seorang pria! Aku rasa… kau-lah wanita jalang itu!” kata Olivia sarkastis.

JLEB!! Seperti ada sembilah pisau yang menyayat hatinya berkali-kali. Joanna tidak tahan lagi dengan makian yang tertuju untuknya. Ia tidak tahu, bahkan tidak mengenal gadis di depannya itu. Tapi mengapa gadis itu dengan gampangnya memakinya seperti petasan yang terus merembet? Orang tuanya saja tidak pernah memakinya seperti itu?! Joanna benar-benar tidak terima!!

“Saya tegaskan sekali lagi… saya… bukan… jalang!” tegas Joanna menekan disetiap katanya.

“Kalau bukan, mengapa kau bisa ada di kamar Oliver?”

Joanna menoleh pada Oliver. Memandang pria itu datar. Lalu, tanpa mengalihkan pandangannya, ia menjawab, “tanya saja kepada pemilik kamarnya!”

Setelah berkata begitu, Joanna bergegas meninggalkan kamar yang panas oleh api amarahnya itu. Ia butuh ruang sejuk yang dapat mendinginkan hatinya. Ia merasa terpenjara di rumah ini. Ia ingin keluar dari sini!

❤️❤️

“Joan kangen Ibu…” lirih Joan setelah panggilannya terjawab. Tak terasa air matanya mengalir begitu saja.

“…”

“Nggak… Joan nggak pa-pa. Joan cuma pengin pulang. Pengin bertemu Ibu dan Ayah. Joan kangen kalian.”

Tanpa diketahui Joanna, Oliver mendengar percakapan gadis itu bersama lawan bicaranya di telepon. Lagi-lagi pria itu berhasil masuk ke kamar Joanna dan mendengarkan semua keluh kesah gadis itu.

“Ekhemm!”

Dehaman Oliver berhasil membuat Joanna menoleh ke arah pintu. Ditatapnya pria itu gusar sebelum ia mohon pamit untuk menyudahi percakapannya dengan sang ibu.

Kemudian, Joanna bangkit menghampiri Oliver yang masih berada diambang pintu. “Suka banget ya, nguping pembicaraan orang?”

“Kau kenapa?” tanya Oliver saat matanya menangkap mata merah Joanna. Ia yakin gadis itu sudah menangis.

Joanna mendengus kesal sembari mengalihkan pandangannya. Berusaha menghindari tatapan Oliver. “Ditanya malah balik nanya!” gumam Joanna pelan.

“Besok siang ikut saya lunch! Tidak ada penolakan!” titah Oliver.

Joanna mendelik. “Lunch? Untuk apa?”

“Untuk kejadian di kamar saya,” katanya tenang.

❤️❤️❤️

4 Februari 2018

Salam hangat,

Author...

Please, Love Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang