Sinar mentari nampak mengintip malu-malu melalu celah-celah tirai sebuah kamar yang masih gelap gulita. Di dalamnya terdapat seorang gadis yang tengah menatap lurus ke depan. Hampir semalaman dirinya tak memejamkan mata dan setia di posisinya saat ini—terduduk sambil memeluk kedua lututnya—. Pintu kamar perlahan terbuka diikuti hadirnya sosok wanita paruh baya yang begitu disayanginya. Wanita itu berjalan menuju tirai dan membukanya hingga cahaya sang mentari dengan leluasa dapat memasuki kamar minimalis itu.
Wanita itu berbalik dan menghela napas ketika wajah menyeramkan sang anak tertangkap indra penglihatannya. Bibir pucat, rambut berantakan, mata memerah dengan kantung mata menghitam menandakan putri semata wayang lagi-lagi tak jatuh ke alam bawah sadarnya semalam.
"Hey," ucapnya lembut sambil mengelus lembut rambut sang anak, "Ingin turun ke bawah?" lanjutnya yang dibalas gelengan kepala dari Jennie—sang pemilik kamar—.
Wanita itu menghela napasnya dan memutuskan untuk mendudukkan tubuhnya di sebelah sang anak, ikut memandang ke arah objek yang tengah dipandang anaknya. Tangannya tak pernah bosan mengusap rambut anaknya bermaksud memberikan kenyamanan padanya.
"Kau tak bosan melihat tembok terus nak?" tanyanya.
"Tidak" balas Jennie parau
"Apa mimpi buruk itu kembali hadir?"
"Tidak, aku mencegahnya untuk hadir" ucap Jennie
"Dengan cara tak tidur semalaman?" ucap sang ibu, wanita itu menghela napasnya untuk kesekian kalinya, "Itu bukan solusi yang tepat sayang, apa kau akan terus tak tidur setiap malamnya? Itu tak baik untuk kesehatanmu"
"Aku tak peduli, Ibu tak pernah tau seberapa menyeramkannya mimpi sialan itu. Mimpi sialan itu selalu membuat dadaku terasa sesak dan berdenyut nyeri seperti ingin mati!" ucap Jennie meninggikan volume suaranya, kepalanya menoleh ke arah sang ibu yang juga ikut menoleh ke arahnya, "Aku ingin mati, bu" lirihnya pelan.
Sang ibu dengan terburu-buru langsung membawa putrinya ke dalam dekapan hangatnya mengusap punggung yang nampak mulai bergetar menandakan sang anak yang kembali menangis.
"Sttt, jangan berbicara seperti itu Jennie-ya. Jangan tinggalkan ibu sendirian, kau bisa melaluinya nak. Ibu yakin kau bisa" ucap sang ibu dengan suara bergetar mencoba menahan liquid bening yang mendesak keluar. Ia tak boleh lemah demi sang anak.
Hatinya terasa tercubit begitu keras kala lagi-lagi sang anak kehilangan semangat hidupnya. Sungguh demi apapun yang ada di dunia ini ibu mana yang tega melihat anaknya terpuruk seperti ini?. Jawabannya tak ada. Ia seorang ibu, seorang ibu yang tentu saja tak kuat melihat anaknya yang terpuruk seperti ini, ia tak ingin kehilangan anaknya.
"Hey sayang," ucap sang ibu sambil menangkup wajah sang anak dan menghapus bulir-bulir air mata dari pipi tirusnya, "Coba tebak siapa yang berkunjung hari ini"
"Jisoo dan Lisa?" ucap Jennie tak tertarik
"Salah, coba tebak lagi"
"Ayah?" ucapnya mulai tertarik dengan arah pembicaraan sang ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deja vu
Fanfiction[SEQUEL FROM WE ARE : BLACKPINK] Dia datang bagaikan sebuah mimpi, yang mengisi setiap kepingan hilang dari kisah kami Tetapi, jika pada akhirnya kau akan menghilang, mengapa kau harus hadir dalam kehidupanku? kau hanyalah mimpi buruk dalam mimpi in...