Suara pintu yang diketuk mengema di sebuah ruangan yang begitu sepi diikuti sebuah suara lembut yang menyapa lirih, "Jennie-ya, ibu pergi ke supermarket dulu yah. Apa ada barang yang kau butuhkan?"
Hening sejenak, gadis di balik pintu itu masih tak bergeming bahkan enggan untuk sekedar bersusah payah membuka mulutnya. Suara helaan napas terdengar begitu jelas memasuki indra pendengarannya.
"Baiklah, hati-hati di rumah yah sayang" sahut sang ibu sebelum suara langkah kaki terdengar menjauhi pintu kamarnya.
Jennie mengusap kasar wajahnya, ia benci dirinya saat ini. Dirinya yang seperti lima tahun lalu. Hanya mampu meratapi nasib dan membiarkan kegelapan menariknya menuju lubang kesengsaraan. Tak ada yang dapat gadis itu lakukan selain menangis dan terus menangis. Berharap air matanya dapat menyembuhkan luka hatinya yang kembali menganga.
Perlahan gadis itu bangkit, ada sedikit dorongan dalam dirinya untuk melangkah keluar kamar. Ia merindukan Rosé, adiknya. Gadis itu pun menyambar coat hitam dari lemari juga sebuah topi guna menutupi wajahnya yang sembab. Setelahnya gadis itu membuka kunci kamarnya dan melenggang keluar.
Baru saja satu langkah ditapaki oleh Jennie menuju pekarangan rumahnya tiba-tiba sebuah bogem mentah mendarat ke pipinya. Membuat gadis itu terhuyung jatuh karena belum siap bahkan topinya sudah tergeletak jauh darinya. Jennie mendongak dan mendapati presensi Jimin dengan napas terengah juga tatapan penuh kilat amarah.
Pria itu melangkah mendekat dan menarik kasar coat Jennie hingga gadis itu berdiri tegap, "Dimana Haneul?" tanya Jimin mengintimidasi.
Jennie bergeming, ekspresinya sama sekali tak berubah masih tetap dingin bahkan lebih mirip mayat hidup membuat Jimin mengeram marah karena terasa tak dihargai, "Jawab! Dimana Haneul? Terakhir dia pamit ingin menemuimu dan hingga semalam ia tak kembali. Kau apakan Haneul?" teriak Jimin tepat di wajah Jennie.
"Bukan urusanku" sahut Jennie
"Apa? Apa kau bilang!" teriak Jimin dan menambah keras cengkeramannya di coat Jennie.
Jennie tersenyum miring menatap rendah ke arah Jimin, "Kau sama sekali tak mengetahui rahasia kecil si gadis munafik itukan?"
"Apa yang kau maksud hah?" tanya Jimin tanpa mau menurunkan oktaf suaranya.
"Haneul mencuri barang-barang berharga dari Rumah keluarga Park!" pekik Jennie, tak mampu menahan amarah dalam dirinya. Gadis itu dapat merasakan tangan Jimin yang sedikit mengendur di coatnya.
"Kau tahu itu untuk siapa hum? Untuk ayah kandungnya yang ia katakan mati!" lanjut Jennie yang sukses membuat cengkraman Jimin pada coatnya melemah.
Jennie membenarkan coatnya dan menatap Jimin tajam, "Masih mau membela gadis munafik itu lagi?" sahutnya sinis
Tangan Jimin terkepal kuat, lagi-lagi sebuah bogem mentah mengenai wajah Jennie hingga gadis itu tersungkur di lantai. Jimin memandangnya dengan tatapan yang sulit di artikan membuat Jennie mengalihkan tatapannya dan menyeka darah segar yang keluar dari hidungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deja vu
Fanfic[SEQUEL FROM WE ARE : BLACKPINK] Dia datang bagaikan sebuah mimpi, yang mengisi setiap kepingan hilang dari kisah kami Tetapi, jika pada akhirnya kau akan menghilang, mengapa kau harus hadir dalam kehidupanku? kau hanyalah mimpi buruk dalam mimpi in...