Alasan dari pak Hanenda bisa kuterima. Akhirnya aku akan kembali ke dunia 'perprivatan' kembali.
Chesta bukanlah seorang anak slow learner yang butuh jam tambahan karena tak cepat menyerap pembelajaran. Dia cerdas. Ayahnya mengungkapkan bahwa putrinya yang menginginkan les privat karena ingin adaptasi dengan pelajaran di sekolah baru.
Ya sudahlah. Mungkin ini memang balasan Tuhan karena membohongi Ananta yang padahal sudah berbaik hati memberiku beberapa hari dispensasi.Setelah berkoordinasi dengan Citra tentang rancangan pembelajaran besok, aku segera merapikan barang-barangku yang berserakan di meja Citra. Dia adalah partner kerja sekaligus sahabatku. Setiap guru disini memiliki partner kerja. Citra adalah partner guru kelas rendah. Kelas 1 sampai 3. Dia ulet dan bisa diandalkan. Cantik banget pula. Nareswara yang notabene wajahnya bak pinang dibelah tiga dengan kembar Chandrawinata saja bertekuk lutut padanya.
"Jadi mulai privat lagi ini?" Tanya Citra.
"Ya gimana lagi Cit. Ini aku curiga jadinya. Pak Nanta punya kesaktian kali ya. Langsung gitu azabnya. Bisa gitu langsung hari ini mulai jadwalnya. Huft."
Citra terkekeh ringan.
"Makanya jangan asal kalau bikin alasan. Tapi btw, gercep juga pak DoS ya? Baru berapa hari palu diketuk lho. Terima ajalah Nae, lumayan. Paling nggak meski kamunya gak mau nih, lumayan kan bisa pulang bareng HRV, CRV atau Jukenya. Gila Nae, Turning point hidup kamu...ckckck."
Aku menatap Citra ngeri."Mulut ya Cit. Durhaka kamu. Masa iya saya dijodohin sama mobil." Sungutku.
"Ha ha. Nah sama yang punya mobil antipati gitu. Nanta baik lho Nae. Kurang apa coba?"
"Nggak ada yang kurang. Kelebihan malah." Jawabku asal.
"Oh ya? Lebih saya dimana?"
Aku dan Citra sama-sama menoleh ke sumber suara. Nareswara menahan tawa nistanya. Berdiri disampingnya, si DoS Ananta.
Saya janji ya Allah. Tidak berbohong lagi. Saya nyesel ndak nurut guru agama saya. Sungguh.
Citra berdeham sebentar lalu menenteng tas polkadotnya, berjalan mendekati Nareswara.
"Saya duluan ya Nae, Sir."
Citra melambaikan tangan sambil mengerling jahil padaku. Nares menepuk pundak Nanta, menyeringai kecil padaku , lalu berjalan mengekori Citra.
Terkutuklah mereka berdua.
Tinggalah aku disini. Di kubikel Citra. Berdiri kikuk menghadapnya.
"Belum pulang, Sir?" Tanyaku basa basi.
"Kamu ada jam mengajar pukul berapa?Biar saya antar. Tadi pagi kamu pakai Ojol kan? Saya tunggu di parking lot ya?"
Aku mingkem, kicep, tak menyahut. Tak ada yang bisa kusanggah dari kata-katanya. Hanya memandang punggung bidangnya menjauh. Tak ada pilihan lain ini selain mentaati titahnya.
Kumasukkan bolpoin dan ponsel pintarku ke ransel kesayangan, si Polo.
Segera kulangkahkan kaki menuju parkiran. Hanya HRV putih yang tertinggal. Sepertinya yang lain sudah pada pulang. Padahal masih 16.30. Sudah sepi.Ananta membuka jendela mobilnya. Sedang aku membuka pintu penumpang.
"Saya supir kamu, Nae?"
"Ha?"Aku sukses melongo ke arahnya. Masa iya aku duduk di samping Nanta. Kami kan beda kasta.
"Keberatan kalau duduk di depan?"
Aku menggeleng lemah. Kututup kembali pintu mobil dan segera menduduki kursi di samping kemudi. Kemudian mobil berjalan perlahan.
Suara merdu Ed Sheeran yang melantunkan 'photograph' menemani kami. Aku ikut bersenandung dalam hati.
"Start jam berapa ngajarnya?" Ananta membuka percakapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku ke- 2
ChickLitTentang Nae yang terluka Tentang Gatra yang mendua Tentang Ananta yang mengejar cinta Tentang Hanenda yang berduka Masih, tentang sebuah romansa. Cover by Windy Haruno