4. Sarapan

379 97 31
                                    

Semalam setelah memeriksa seluruh pintu dan jendela dan menunaikan ibadah sholat Isya aku terlelap. Tengah malam Chesta setengah tak sadar mencari keberadaan ayahnya. Tapi kemudian bergelung di dekatku dan menjadikan lengan kiriku sebagai bantalnya. Akupun tidur lagi dengan memeluknya.
Mataku mengerjap pelan. Aku masih tidak percaya aku mengiyakan permintaan pak Hanenda. Bagaimana mungkin aku bisa tidur di ranjang orang yang baru aku kenal kemarin pagi, laki – laki pula. Kutarik perlahan lengan kiriku. Memindahkan kepala Chesta ke atas bantal.
Tanganku kram.

“Trak.”

Kudengar suara dari lantai bawah. Pak Hanendakah? Kucoba mengalkulasi waktu. Tak mungkin dia sudah datang. Kemungkinan terburuk menakutiku.
Pen.cu.ri.
Sontak aku bangun dan terjaga. Kuraih ponsel di atas nakas. Mati. Aku lupa mengisi daya.

Jantungku berdegup kencang. Seingatku sudah kukunci semua. Kulirik jam, belum juga subuh. Perlahan kuberanikan diri turun dari spring bed berukuran king size ini. Mengendap sambil menggenggam penebah di tangan kanan. Hanya itu yang kutemukan. Lumayan bisa mencocok mata kan lidinya. Pintu kamar yang tak terkunci dan sedikit terbuka memudahkanku berjalan mendekat ke asal suara tanpa menimbulkan gaduh yang berarti.

Kuturuni tangga. Sekelebat bayangan memunggungiku. Semua lampu mati. Tapi pencahayaan taman samping yang terpisah dengan pintu kaca  memudahkanku melihat posisi sosok berbaju hitam – hitam dengan topi rajut hitam di dapur. Aku masih diam mengamati. Dia membuka kitchen set, memunggungiku.

Kesempatan!

Bismillahirrahmanirrahiiim…

Kuayunkankan penebah kuat-kuat ke udara.

Grab!
. . . .

Tidak.

Ujung senjataku satu satunya diraih si pencuri. Aku tak berani melihatnya. Terlalu takut. Kalau sudah begini harus ambil langkah seribu. Kabur, mencari pintu dan meminta tolong. Secepatnya kulepas gagang penebah lalu berbalik. Tapi tangan dengan cengkraman kuat mencekal pergelangan tanganku terlebih dahulu. Aku kalut.

“Tolo…hmft adhhutypdtuhis klonggg…”

Aku memberontak sekuat tenaga. Mulutku di bekap dan di dorong lembut ke arah tembok.

Tunggu, lembut?

“Klik!”

Lampu dapur dan ruang tengah seketika menyala terang. Mulutku tak dibekap lagi. Manusia di depanku bersandar pada pilar dan terkekeh sambil memainkan penebah di tangan kanannya.
Aku masih mengatur nafas perlahan- lahan.

“Mau ngelawan maling apa nyamuk ms? Senjatanya begini banget?” Dia kini tertawa di sela – sela keasyikannya memainkan lidi – lidi yang diikat rapi itu.

Aku melorot ke bawah.
Berjongkok.
Begini mungkin rasanya jadi dokter Kang yang dikerjakan Kapten Yoo. Kupikir adegan di salah satu drakor favoritku itu berlebihan. Kesel, lega, marah, malu yang campur jadi satu ternyata formulasi tepat untuk menghasilkan air mata.
Iya, aku mengangis.

“Ms.? Kenapa Ms? Saya bercanda, maaf.” Ujarnya.

“Huuu huu, bhapak khira – khira ber -cadhanya…huuuuu huuuu.”

Pak Hanenda, orang menyebalkan ini, kemudian menepuk – nepuk pundakku sampai tangisku reda. Sesekali dia terkekeh pelan. Setelah aku sedikit tenang, diangsurkannya segelas air putih padaku.

Ketika nafasku sudah lumayan normal, kuayunkan tanganku kuat – kuat ke lengannya.

“Aduuh…kenapa lagi ms?” Dia meringis.

“Kalau saya mati jantungan bapak saya tuntut!” Seruku.

Dia tertawa lagi. Ya Allah. Setelah dari kemarin pagi dia hanya berwajah lempeng, gepeng, datar saja. Sekarang, dia, orang yang sama ini,  180° berubah. Tebar bau naga kemana – mana.

“Orang mati jantungan masih bisa nuntut? Baru dengar ini saya.” Dia terkekeh. “Maafkan saya ya. Saya ndak ada maksud mengagetkan kamu. Saya baru selesai cuci perkakas, dan ini rencananya saya mau buat mie instan. Kamu mau?” tawarnya.

Aku meraba perut. Aku juga lapar. Akhirnya tanpa malu aku mengangguk. Kesalku menguap di udara. Marahku murah ya ditebusnya. Pakai mie sebungkus, instan pula.

“Saya sholat subuh dulu ya?” Ucapku diikuti isyarat jempolnya.

Ada yang aneh. Kenapa sebutannya padaku berubah dari ms. menjadi kamu?

Entahlah. Suka – suka dia.

Setelah menunaikan kewajiban subuh, kurapatkan selimut yang terlepas dari tubuh Chesta. Kupindai guling dan bantal untuk jadi pembatasnya. Takut dia terjatuh. Tidurnya lumayan berpola soalnya.
Kurapikan rambut sebahuku, mengambil tas dan paper bag tempat baju kotor, mencabut charger yang kupinjam dari pak Hanenda dan meletakkan mukenah yang telah kulipat rapi ke dalam si Polo. Setelah kurasa semuanya sudah siap, aku turun ke ruang tengah.

Aroma mie instan rasa sup tomat menguar seantero ruang keluarga. Baru kuteliti di detik ini. Detail rumahnya indah. Perabotnya juga cantik. Sofa minimalis bermotif bunga warna hijau disandingkan dengan rak mini tempat meletakkan beberapa buku dan dekorasi rumah. Di atas rak, ada foto Chesta bayi lengkap dengan dua orang tuanya. Ibu Chesta cantik. Mirip putrinya. Irisnya sama – sama berwarna coklat terang.

“Sudah selesai?” Tanya pak Hanenda, kujawab anggukan. “Silahkan dimakan mienya, maaf adanya cuma mie. Si mbok masih holiday di Bali.” Lanjutnya.

Dia baru saja keluar dari ruangan kecil yang kuasumsikan sebagai mushola. Dia juga sudah mengganti tampilan hitam-hitamnya dengan sarung bermotif kotak dan baju koko lengan pendek.

“Chesta makan apa pak? Mie instan juga? Tanyaku. Tidak terbayang kalau selama tidak ada si mbok Chesta diberi asupan nihil nutrisi macam ini.

“Tidak. Dia tidak pernah sekalipun makan – makanan yang berpengawet.” Jawabnya.

Such a good father. Tapi mendadak pak Hanend diam. Tampak murung. Apa dia lelah? Aku juga tak tahu. Tak berani bertanya. Kamipun makan dengan suasana mengheningkan cipta. Cuma suara sendok yang beradu dengan mangkok. Awkward.

“Rumah kamu dimana? Biar saya antar.” Ujarnya sambil menarik mangkuk kosong di hadapanku lalu mencucinya.

“Ngusir ini?” Selorohku. Dia menoleh. Senyumnya sedikit muncul.

“Ndak perlu repot pak. Saya sudah order Gojek, bentar lagi juga sampai .” Tolakku halus sambil mendeteksi keberadaan calon mas driverku di ponsel.

“Biar saya antar saja, sekalian mengucapkan terima kasih ke orang tuamu sudah diizinkan menginap disini. Cancle saja ya?” Pintanya.

Ha?!

Yang benar saja. Bisa digorok ayah dan di kibarkan di tiang bendera sama ibu.
Semalam aku izin menginap di rumah Citra. Tak mungkinlah berterus terang pada mereka. Mustahil diizinkan. Yang ada dicincang sampai habis pasti aku pakai dakwahan. Aku tetap menolak dengan bermacam alasan ketika pak Hanenda juga berkeras mau mengantar. Dia menyerah.
Mas driver tiba, dan akupun pamit padanya. Dia mengulurkan tangan padaku. Meski aku tak paham untuk apa, kusambut juga tangannya.

“Saya Hanenda Hastungkara. Boleh kamu panggil terserah asal tanpa embel – embel pak ya. Saya bukan bapak kamu.”

Aku berdecih. Ini pak Hanenda belajar Ndangdut dari mana sih? Kesambet apa ya, semalam?

“Nimitya Naeswari. Saya ndak keberatan kok dikasih sebutan, ms, mam, bu juga ndak papa, asal jangan tante.”

“Hehe. Sepakat kita ya Nae.”
Aku terdiam sebentar. Pak Hanenda benar – benar butuh di rukyah. Lalu kuanggukkan kepala dan mengucap salam.

“Salam ke Chesta ya pak, eh Nend.”
Pria di depanku ini tertawa, mengangguk, lalu melambaikan tangan padaku. 

Comments n Votes will be well appreciated :)

Typos? Feel free to let me know :)

XOXO

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang