27. Jalinan

341 82 20
                                    

Disela-sela ruwetnya hidup ya ketiknya. Tanpa di edit.
Semoga suka.

Enjoy everyone!

"Sudah siap?"
Suara Hanend menyambut langkahku ke ruang tamu.

Kami, aku dan Hanenda, akhirnya pergi juga ke tempat yang direkom Naka setelah sebelumnya adik lelakiku itu memergoki kami di dapur.

Memalukan.
Seperti pasangan kasmaran kepergok hansip kampung. Duh gusti. Jatuhlah harga diri sebagai kakak perempuan yang selalu perfect di mata adik satu-satunya.

Naka hampir saja melayangkan tinju melihatku menangis ketika ditariknya aku dari rengkuhan Hanend andai tak kutahan tangannya. Tidak tahu atas dasar apa Hanend  spontan meminta maaf telah memelukku tanpa izin.

Demi apa?
Memang Naka alih fungsi jadi ayah?

2 lelaki aneh.

Makin aneh lagi karena Naka malah memberikan 2 tiket gratis masuk Taman Botani pemberian Tiwi, tetangga sebelah kami yang bekerja disana setelah Hanend menceritakan kronologi singkat kejadian di dapur.

Kami butuh privasi dan quality time untuk bicara, putus adik menyebalkan itu semaunya.

Awalnya aku menolak, tapi Naka berkeras. Sok sokan tua, dia menceramahiku tentang strength and weaknesses lari dari masalah.

Seringkali, memang dia bertingkah diluar nalar manusia biasa tingkahnya. Absurd.

Tapi ada benarnya. Tentang aku dan Hanend harus ada titik temu yang bukan abu-abu. Banyak yang ingin kutanyakan. Aku butuh penjelasan. Kalaupun harus berhenti sampai disini ya sudahlah.
Luruskan. Stop. Angkat tangan.

"Lumayanlah kalau buat wisata keluarga," ucap Hanend setelah kami berjalan menuruni beberapa tangga, juga setelah  sekian lama kami mengheningkan cipta dengan bernafas.

"Hmm."

"Sering kesini?"

"Nggak."

"Laper?"

"Hm? Nggak"

"Mau coba flying fox?"

"Nggak."

"Mau berenang?"

"Nggak."

"Ada gorengan itu kayaknya enak, mau?"

"Nggak."

"Masih marah?"

"Ng..."

Aku otomatis menghentikan langkah tanpa menjawab penuh pertanyaannya. Hanend tersenyum tipis lalu menunjuk satu tempat di pinggir kolam. Pemandangan sawah di belakangnya cukup membuat moodswingku agak lumayan.

Aku mengangguk.

"Harus to the point sama kamu ya Nae. Nggak bisa kita basa - basi sedikit gitu?" seloroh Hanenda yang kujawab dengan kedikan bahu.

"Hhh..harus mulai dari mana?" tanyanya.

Mata kami saling mengunci. Duduk bersebelahan dengan jarak berinchi -inchi.

"Mungkin, bisa dimulai dari sebab kenapa kamu tidak menghubungi saya sama sekali."

Hanend menghela nafas pendek sebelum menjawab.

"Ok."
...
"Ponsel saya hilang Nae. Saat dikabari Chesta kritis, saya sudah seperti orang gila. Pesawat delay. Sambil tunggu waktu saya ke toilet untuk basuh muka. Saat di sana, saya lupa taruh ponsel dekat wastafel. Begitu selesai cuci muka terburu keluar. Ingat ponsel tertinggal, saya langsung balik dan yah..sudah nggak ada. Saya juga gak mikir tindakan apa-apa untuk cari ponsel itu. Yang ada dipikiran saya, segera sampai Surabaya itu saja."

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang