Mbak Vitara 06.15
Nae, kapan jenguk mbak ini? bosan di rumah. Jalan - jalan yuk!Aku membuka pesan dari mbak Vit, istri mas Cakra, sambil sesekali mengawasi jalan. Aku sedang menunggu angkutan kota warna kuning berinisial D atau E. Motorku belum bisa diambil karena spare partnya masih harus pesan ke Surabaya. Stok di sekitaran Jember kebetulan habis. Si Putih juga harus di "rujuk" ke Ahass terdekat karena mas- mas bengkel tempat kami memperbaiki si putih angkat tangan karena peralatan yang kurang memadai. kemungkinan tercepat si Putih baru bisa kembali ke rumah hari Kamis. Nasib.
Me 06.17
Nanti InshaAllah Nae jenguk mbak Vit. Tapi ndak bisa jalan-jalan mbak, si Putih mogok.Mbak Vitara 06.25
Ok nae. Ditunggu. Btw, kenapa keluar lagi? Mbak udah kick itu nenek lampir. Mama juga gak trima kamu keluar dari grup, eh dia dimasukin Gatra ke grup. Sampai kujapri itu Gatra. Pas kutanya, ternyata itu perempuan kebetulan lagi pegang HP Gatra, macam sidak gitulah. Terus, dia masukin nomornya sendiri pakai ponselnya Gatra. Megeli kan.Aku membaca pesan panjang mbak Vit, tapi tidak kubalas. Takut salah bicara. Istri kakak kedua Gatra itu memang akrab denganku. Mungkin karena usia kami yang tak terpaut terlalu jauh.
Tintinn!
Outlander putih menepi tak jauh dari tempatku berdiri. Kacanya terbuka. Siapa lagi kalau bukan Hanenda. Aku melangkah mendekat dengan canggung. Mengapa harus Hanenda sih. Jember selebar Moringa Oleifera? Beberapa hari terakhir aku dibayangi wali murid yang memaksakan diri menjadi salah satu temanku ini.
"Kok disini? motor masih belum OK? tanyanya.
"Nunggu angkot, iya masih harus di servis sampai kamis," jawabku. Aku tersenyum sopan pada 2 orang di belakang kemudi. Chesta tidur di pangkuan wanita cantik yang mungkin seusia ibuku. Dugaanku mereka orang tua Hanenda.
"Masuk Nae, saya antar."
Kalimat yang bukan pertanyaan atau tawaran itu tentu saja tak enak kutolak. Aku mengangguk pasrah. Duduk manis di sampingnya. Kusesali keputusanku berangkat naik angkot. Percuma sengaja berangkat lebih pagi untuk menikmati perjalanan.Tapi ternyata, semesta kembali bercanda. Aku lagi dan lagi dipertemukan dengan Hanenda atas nama kebetulan.
"Ini ms. Nae? Gurunya Chesta ya ms.? Chesta banyak cerita kemarin, guru favoritnya katanya. Saya Rinta, bundanya Anka ms." Ujar ibu yang menggendong Chesta.
Dahiku mengerut. Anka?
Seolah paham, bapak - bapak di samping beliau menjawab tanya dalam benakku.
"Anka itu anak nomor tiga saya, yang lagi nyetir itu bu. Panggilan sayang kami bukan di awal kata, tapi suku ke dua dari namanya."
Hanenda Hastungkara. Aku mengangguk tanda paham. Meski lebih masuk di akal kalau panggilan sayangnya 'Hastung' atau 'Kara'.
"Chesta izin ya bu guru, ini badannya panas lagi. Pagi - pagi tadi kami bawa dia berobat alternatif di Rambi, biar tidak antri. Eh ini kok panas lagi."
"Iya bu, tidak apa. Ehm, sakit apa bu Chesta?" tanyaku.
Tak ada yang menjawab pertanyaanku. Ada apa? Dari tadi aku bertanya dalam hati. Kenapa sampai ke alternatif segala. Memangnya muridku ini sakit apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku ke- 2
ChickLitTentang Nae yang terluka Tentang Gatra yang mendua Tentang Ananta yang mengejar cinta Tentang Hanenda yang berduka Masih, tentang sebuah romansa. Cover by Windy Haruno