17. Interview

332 80 38
                                    

Akhirnya disini, untuk pertama kalinya dalam 28 tahun hidupku, menjejakkan kaki di Bandar Udara Soekarno Hatta. Setelah kurang lebih 1 jam 20 menit mengagumi daratan dari udara.

Kumatikan airplane mode ponsel pintar di tangan kiri, berharap ada notifikasi dari seseorang yang akan menjemputku setelah paket dataku menyala. Bukan dari pihak penyelenggara beasiswa, tapi ini kolega Hanend yang ia mintai tolong.

Tadi pagi sekali Hanend dan Naka mengantarku ke Juanda. Tanpa konfirmasi persetujuanku Hanend berkata bahwa semalam dia meminta tolong seseorang untuk menjemputku di bandara dan mengantar ke tempat wawancara. Aku mana bisa protes kalau dimintai pendapat saja tidak. Naka juga entah sejak kapan jadi pendukung setia Hanenda. Yang kakaknya itu Hanend atau aku sih? Heran.

Sebenarnya aku tetap bisa datang ke Jakarta kemarin andai tiket sudah ku claim sebelum ada pemberitahuan terkait diundurnya jadwal interview. Penginapan juga sudah disediakan oleh pihak penyelenggara. Hanya, karena jarak tidak terlalu jauh, dan nilai TOEFLku sudah cukup, aku tidak perlu lagi mengikuti tes yang sama yang difasilitasi oleh panitia. Jadi tidak ada urgensi untukku menginap. Kepentinganku hanya datang dan melalui tes wawancara pukul 12.00. Setelah itu kembali lagi ke Surabaya petang nanti.

"Nimitya Naeswari?"

Aku mendongak. Seorang pria berpostur atletis menyapaku. Pria itu menggunakan seragam yang mirip dengan pakaian dinas Hanend. Kusimpulkan dia adalah orang yang Hanend sebutkan tadi pagi. Kuanggukkan kepala. Ragu kupastikan nama pria itu, meski sudah ada name tag melekat di dada kirinya.

"Euko Jaladra Harimurti," ucapnya memperkenalkan diri sambil mengangsurkan tangan kanannya padaku. "Panggil Uko saja," lanjutnya.

Aku mengangguk tanpa suara lalu mengekor menuju tempat dimana mobilnya terparkir.

"Panggilan kamu Nae?" tanyanya saat mobil bergerak meninggalkan Soetta.

Aku kembali merespon dengan satu anggukan.

"Sudah lama kenal Hanenda?"

Well. Here we go.
Interview sesi pertama.

Hal ini sudah bisa kuprediksi. Siapapun pasti akan kepo dan berspekulasi macam - macam tentang aku dan Hanend. Secara Hanend itu duda, tiba - tiba meminta tolong koleganya untuk antar jemput perempuan yang saudara bukan, teman satu instansi juga enggak. Karena hal ini juga aku ngotot menolak. Seumuranku masih dikhawatirkan nyasar atau parahnya diculik? Mengada - ada banget. Namun, Hanenda dengan bantuan Naka mematahkan semua argumentasiku untuk membatalkan kemauannya.

"Hmm. hitungan bulan sih." jawabku.

"Oh. Chesta gimana kondisinya? Ada perkembangan?

Dahiku berkerut. Pria di sampingku ini sampai tahu tentang kondisi Chesta. Prediksiku, dia dan Hanend adalah saudara atau sahabat dekat.

"Saya berangkat tadi kondisi Ches sudah baikan kata Hanend. Hari ini bisa di bawa pulang," terangku.

"Alhamdulillah. Eh, Ini perjalanan bakal agak lama Nae. Tidur dulu aja. Macet gak ketulungan arah ke Intiland biasanya. Tapi inshaAllah sebelum jam 12 sudah sampai."

Kulirik jam tangan, masih jam 7 pagi. Apakah se crowded itu Jakardah?

"Ehm, mas Uko ndak kerja ini? Maaf banget saya ngerepotin."

"Saya kebetulan ada dinas luar sih. Masih jam 12 an nanti tugasnya. Jadi bisa izin setengah hari. Santai Nae. By the way, ini ajaib si muka datar bisa begini. EQ dia itu berbanding terbalik sama IQnya. Empatinya itu jongkok ndlosor dah pokoknya. Kamu ini mestinya spesial banget. Sama Ditya saja nih ya, baru pas jadi bapak saja dia bisa care, normal, layaknya suami - suami lain."

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang