9. Hubungan

399 88 34
                                    

Dedicated to CahyaTaruma
Thanks for sharing n recommending :)

Enjoy!

Kuteguk air mineral kemasan perlahan. Matanya menyelidik tiap jengkal kecanggungan di mataku. Ah, bukan. Mata mereka. Citra dan Nareswara. Dua sejoli itu menagih penjelasan padaku. Aku menerawang langit - langit teras rumah. Bingung akan kumulai darimana.

Setelah pamit dengan keluarga Waluyo aku bergegas meninggalkan rumah sakit tadi. Papa meminta mas Cakra untuk mengantarku pulang tapi aku berkeras menolak. Mereka tak henti berterima kasih padaku. Akupun mengucap syukur berkali - kali dalam hati. Bayi dan ibunya selamat. Sehat. Aku lega, mbak Vitara tak perlu mengalami hal sepertiku. Si ganteng imut yang lucu itu cucu pertama keluarga Waluyo. Mbak Vitara dan mas Cakra juga sudah lama menunggu kehamilan putra pertamanya itu.  

Saat menjejakkan kaki di pelataran rumah sakit Hanenda membunyikan klakson menandakan kehadirannya.
Tidak. 
Aku tak menghubunginya untuk sekedar mengatakan aku akan pulang. Ponselku mati berjam - jam yang lalu. Komunikasi terakhir kami adalah saat dia menanyakan sudah lahir atau belum debaynya, mbak Vit masih di ruang observasi atau sudah pindah di ruang inap. Done. No more conversation. Ajaibnya dia sudah standby di depan  saat aku akan mencari angkutan umum untuk pulang. Masa iya dia menunggu berjam - jam di depan? Sekurang itu pekerjaan Hanenda? Entahlah. Tapi bungkusan obat di dashboard mobil menguatkan alibinya bahwa dia kebetulan baru saja membeli obat - obatan untuk Chesta di apotik seberang rumah sakit.

Kebetulan ya? Benar - benar tak bisa kupercaya candaan jagad raya ini.

Saat itu aku tidak langsung pulang karena aku berjanji pada Citra untuk mampir ke rumah kontrakannya. Sebelum hpku mati sempat ku baca kabar darinya bahwa besok akan ada supervisi The Arkana's, sebutan kami untuk anggota penyandang dana sekolah ini. Citra sudah mempersiapkan semua administrasi kelas. Kami hanya perlu berkoordinasi barangkali ada sesi presentasi dan tanya jawab tentang progress anak didik kami. 

Begitu turun dari mobil Hanenda. Ananta keluar dari pagar yang tak jauh dari teras. Sepertinya dia sudah akan pulang. Aneh. Sejak kapan Ananta punya jadwal mengunjungi Citra. Seheboh itukah supervisi besok? Ananta berekspresi datar. Dia sama sekali tidak menyapaku. Langsung lewat begitu saja menuju mobil Hanenda. Sementara Hanenda keluar dari mobilnya dan menjabat tangan Ananta.

"Nae, malah nglamun!" panggil Citra, menyadarkanku. " Yang nunggu kamu cerita sampai berjamur ini. Jadi, kami terlewat cerita apa saja ini ms. Nimitya?" lanjutnya, memulai sesi interogasi dengan tangan terlipat di atas perut datarnya. 

"Sepertinya dalam beberapa minggu terakhir kamu sibuk sekali. Belum ada sepatah dua patah cerita. Err,  tentang insiden di Maxx Corner misalnya?" cecar Citra lagi.

Tunggu.

Maxx Corner??

Ah.

Nanta bocor juga ya. 

Sampai Citra dan Nares tahu, siapa lagi tersangkanya. Gatra atau Hanenda? Gak mungkin lah. Pasti bahan gosip ini asalnya dari si DoS yang sudah sekitar 20 menit lalu pergi disusul Hanenda kemudian. 

"Hmm.  Jadi gini .... "

Kuceritakan insiden memalukan itu. Kumulai cerita dari awal kutolak ajakan Nanta sampai akhirnya kopi panas itu mengaliri perut dan pahaku. Maunya tidak kubeberkan cerita aku "diselamatkan" Hanenda. Tapi Ananta sudah bergosip sampai part terakhir pertemuan kami hari itu. 

Nares diam. Citrapun juga. Aku tentu saja tidak menceritakan bagian aku menginap di rumah Hanenda. 

"Lalu kenapa kamu bisa diantar pak Hanenda ke sini? Anehnya lagi, kamu nyadar gak Nae? Dari awal kamu cerita. Nggak pakai sebutan 'pak' lho kalau pas nyebut pak Hanenda kamu. Kalian sedekat itu?Ini ada yang bolong mestinya. Cerita deh Nae sebenernya. Ke kita aja elah, apaan yang butuh kamu rahasiain juga ?"

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang