6. Mogok

388 95 9
                                    

Seharusnya hari ini aku mulai mengajar Chesta. Tetapi Hanenda pagi tadi mengirimkan surat izin. Chesta tidak masuk karena dijemput eyangnya ke Surabaya. Weekend. Besok, Sabtu, memang terjadwal libur. Sekolah kami hanya 5 hari kerja. Tetapi Senin sampai Jum'at kami bekerja mulai pukul 08.00 - 16.00.

Rencananya hari ini aku akan meminta bantuan Naka untuk mengantar ke rumah papa dan mama. Mantan mertuaku. Beberapa hari lalu lumayan repot dan lembur di sekolah untuk keperluan akreditasi. Jadi yang semula hari Selasa aku rencanakan berangkat kesana, mundur sampai hari ini. Perjalanan dari Jember kota ke Tanggul memakan waktu sekitar 1 jam kalau lancar. Rumah orang tua mantan suamiku itu ada di pinggiran kota, kurang lebih 43 km dari Jember, berbatasan dengan kabupaten selanjutnya, Lumajang.

Mantan papa mertua adalah seorang pensiunan pegawai pabrik gula sementara mama akan mengakhiri masa kerjanya tahun ini sebagai guru PNS di SD Negeri di dekat rumah mereka. Jangan bayangkan orang tua Gatra tokoh antagonis yang anti menantu. Tidak. Mereka menyayangiku lebih dari anak mereka sendiri. Mama masih menangisiku dan berharap aku merubah keputusan di hari dimana kami resmi bercerai. Gatra adalah putra bungsu mereka. Hubunganku dengan 2 kakak dan para iparpun baik. Bahkan namaku masih ada di grup WA keluarga. Ataukah mereka segan mengeluarkanku dari sana? Entah.

Kuperiksa notifikasi di ponsel. Beberapa pesan belum terbaca dan ada panggilan dari Naka. Puluhan pesan Ananta belum kubaca sampai saat ini. Aku masih kekeuh tak mau membahas masalah pribadi dengannya. Sejauh ini aman.

Dhinakara
Mbak, adhek di depan. Sorry telat. Motor trouble tadi.

Me
Ok.

Segera kuraih tas punggungku dan berjalan cepat keluar. Naka sudah terlihat bersandar di samping motor di halaman depan front office. Ada Nares dan Citra yang berbincang dengannya. Erika, resepsionis sekolah kami menyapaku dan memajukan dagunya ke arah teras. Memberiku kode. Kuikuti arah tunjuknya. Nanta berdiri disana. Menyandarkan punggung di pilar sambil memeriksa sesuatu di tabletnya.

Aku menghela nafas.

Sedang apa dia? Bukannya mobilnya di parkir di belakang? Boleh GR tidak kalau dia sedang menungguku? Sudahlah. Abaikan Nanta. Ada hal yang jauh lebih penting untuk segera aku selesaikan.

Ketika kubuka pintu kaca front office. Nanta mengalihkan perhatiannya kepadaku. Aku berjalan maju, menunduk untuk memberi gestur hormat.

"Duluan, Sir," pamitku. Kulangkahkan kaki lebar - lebar, segera mendahuluinya.

"Nae, please." Tangannya tiba - tiba mencekal lengan kiriku.

Aku melebarkan mata. Tak percaya dengan apa yang dia lakukan saat ini. Kuedarkan pandang ke sekitar. Erika tampak berdiri dengan wajah tak kalah shock denganku. Untung hanya Erika yang ada di balik meja resepsionis. Kalau ada Jenny yang berbakat jadi admin akun perlambean, pasti sudah ada foto terpampang di grup sekolah beberapa detik lagi. Kulihat ke arah halaman. Nares dan Citra berdiri mematung dengan mulut menganga. Yang horor adalah pria di samping mereka, Naka. Adik lelakiku satu - satunya sudah siap menghampiri kami yang hanya berjarak kurang lebih 10 langkah.

Aku berusaha mengibaskan tangan Nanta, tapi cengkeramannya terlalu kuat. Lenganku ngilu.

"Sir, Please, ini di sekolah." Ujarku dengan suara tertahan.

"Then, let's talk somewhere." Sungutnya.

"Maaf saya ada kepentingan Sir. Sudah ditunggu adik." Tolakku.

"Nae, saya..."

Kalimat Nanta terhenti saat tangan kuning langsat Naka memutus kontak fisikku dengannya.

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang