1. Akhir Buku 1

1K 130 61
                                    

Aku diam mencerna kata per kata yang dia rangkai jadi kalimat durjana. Ayah di seberang meja mengeratkan tangannya di pegangan kursi. Sedang ibu, matanya kentara memerah. Meski lelaki di depanku ini meramu kalimatnya sedemikian santun. Sikap pongahnya, bahasa sombongnya, membuat kami jengah. Ingin kuabaikan saja norma kesopanan. Kubalikkan meja, kucengkeram kerah kemeja bergaris birunya, lalu kutonjok hidung mancung itu hingga bengkok.

Kuurut dada.

Sabar, sabar Nae.

"Jadi intinya, rumah di Griya Kenanga boleh untuk Nae. Meskipun biaya renovasi dan DP rumah dari keluarga saya. Tapi Nae juga meski sedikit juga berkontribusi membayar cicilan perbulannya. Jadi daripada mengontrak, ayah, ibu, juga Naka bisa tinggal disana. Lagi pula rumah juga atas nama Nae."

Kutekan egoku dalam-dalam. Sedikit katanya?

Hah!

Lupakah dia perjuangan kita?

Kita. Aku dan dia, berjuang hampir 4 tahun lamanya membina keluarga. Terseok - seok menata ekonomi. Setelah menikah aku tetap bekerja di salah satu sekolah dasar swasta yang lumayan terkenal namanya. Demi membantu lelaki ini, akupun menghabiskan waktu sore dan malamku untuk menjadi guru les privat. Hasilnya lumayan untuk membayar cicilan rumah yang dengan nekatnya kami beli secara kredit melalui developer perumahan di tahun ke- tiga pernikahan.

Andai tak berfikir realistis. Aku akan tetap Idealis. Tak akan kuterima lagi sepeserpun darinya. Tapi nyatanya yang dia katakan benar. Orang tuaku. Paling tidak harus kumuliakan. Meski melukai harga diri, akan kuterima pemberiannya. Sambil mencari cara mengembalikan biaya DP dan renovasi rumah.

"Tak perlu nak, ambil saja. Meski masih mengontrak kami masih bisa membiayai Nae."

Aku menoleh pada ayah. Ayah, mohon maaf. Hatinya pasti tercabik. Maafkan anakmu ini Yah. Beliau masih berkata lembut meski suaranya bergetar. Kupastikan beliau menahan amarah dan sedih bersamaan.

"Tidak pak, ini hak Nae. Kami sudah punya rumah di Grand Arganda juga di Puri Kartika. Rumah papa dan mama juga nganggur di desa."

Aku menoleh padanya dengan tatapan tak suka. Apakah perlu mengumbar hartanya? Menikah saja belum, mereka sudah punya 2 rumah. Aku mendengus kasar. Kukosongkan paru - paru sekedar menghalau sesak. Kuhirup udara banyak - banyak kemudian. Berharap apa yang akan kukatakan tak disela dan bisa diterima.

"Baik, itu saja Tra perlunya? Kalau maumu begitu saya terima." Kuambil onggokan kunci rumah di atas meja.

"Terima kasih. tapi....," Aku menggantung kalimatku sambil melirik wanita yang melihatku tak suka.

"Secepatnya akan kukembalikan uang DP dan renovasi rumah pada mama dan papa."
Gatra mengulas senyum manis tapi terkesan sinis.

"Tid..."

"Saya tidak mau ada beban moral, hutang budi, atau semacamnya diungkit di belakang hari." Kupotong kata yang akan Gatra ucapkan.

"Kalau sudah tidak ada yang dibahas lagi, mohon maaf, bapak, ibu, juga saya butuh istirahat. Seharian ini kamu tahu sendiri mereka mendampingi saya di pengadilan. Ini juga sudah lewat jam 9 malam," lanjutku.

Gatra membuka dan menutup kembali mulutnya. Calon istri barunya melebarkan mata tapi tetap tak bersuara. Mereka lalu berdiri untuk mohon diri. Gestur berpamitan Gatra tak lagi seperti dulu ketika kami masih bersama. Dulu dia selalu mencium tangan 2 orang terkasihku. Sekarang hanya menjabat saja, layaknya bermitra.

Tentu tidak kuantar mereka sampai pagar. Hanya sebatas pintu ruang tamu. Gatra berbalik sebentar melihatku saat hendak kututup daun pintu. Sekilas kutangkap tatapan sendu disana.

Hah! Jangan bercanda. Setelah dia tusuk -tusuk hatiku dengan cintanya yang pecah belah. Belum genap sehari berpisah, dengan bangganya dia bawa selingkuhannya serta ke rumah orang tuaku tanpa rasa bersalah, kemudian pamer harta.
Sudah gila kalau aku masih menaruh belas kasih untuknya.

Kututup pintu lalu kukunci rapat. Seperti pintu itu, hatiku juga sudah tak ada celah untuknya. Tak ada lagi nama Gatra Maheswara disana.

"Nduk, sini.".

Kuhampiri ayah dan ibu yang masih duduk di kursi kayu ruang tamu.

"Kenapa harus diterima nduk?" Tanya ayah.

Kuhela nafas sebentar.

"Yah, Bu, maaf. Bukannya Nae matrealistis atau serakah. Tapi yang dikatakan Gatra ada benarnya. Rumah itu juga atas nama Nae. Daripada nanti masih urus ini itu lagi, ya sudahlah kita terima. Besok Nae cari pinjaman yah buat ganti uang DP dan renovasinya," jelasku.

Ayah memelukku begitu juga ibu. Mereka meminta maaf padaku meskipun tak perlu. Tak ada salah apapun mereka padaku. Ayah yang pensiunan pegawai KAI, hidupnya terlampau sederhana. Ibuku juga hanya ibu rumah tangga yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk suami serta kami anak-anaknya. Apa yang perlu kumaafkan? Aku yang seharusnya bersimpuh, meluruh, dan memohon ampunan mereka. Aku yang tak berdaya saat mereka begitu saja direndahkan mantan menantu karena tidak punya harta, atau kuasa.

"Ayah juga bakal bantu Nduk, Ayah usahakan. Sawah dan kebun dekat pangkalan ojek saja kita jual. Dekat jalan. Lebih dari 200 juta ayah taksir. Sisanya kita buat toko atau apalah nanti untuk usaha. Jadi kamu konsentrasi bayar cicilan per bulan saja."

Aku sudah tidak kuat lagi menahan diri. Pertahananku yang setengah mati kubangun luluh lantak seketika.
Air mataku jatuh menggaris di pipi.

Satu-satunya kepemilikan ayah. Warisan eyang yang demi itu, ayah rela tidak punya rumah. Hanya untuk mempertahankannya, ayah membeli hak milik tanah itu ketika anggota keluarga lain bersegera menjual bagiannya.

"Maaf. Ayah, Ibu. Nae mohon maaf."

Ayah menepuk - nepuk pundakku. Ibu mengelus kepalaku sayang.

"Sabar Nduk, ujian ndak gitu saja didatangkan. Kalau kita ndak mampu, sing kuoso yo ora nyubokno." Ibu menghapus lelehan air mataku sambil menarikku dalam pelukannya.

Edited in 2024

Ada yang masih disini? Yuk reread😉

Comments will be well appreciated.
:)


Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang