10. Supervisi(kah?)

345 89 29
                                    

Dedicated to lilissnw,CahyaTaruma, Raffky . Thanks for the support n recommendation.

Enjoy!

Aku duduk disini sekarang. Serasa kembali di ruangan sidang menghadap dosen penguji. Tinggal aku sendiri disini. Tadinya banyak guru dan staff yang duduk bersama. Namun sekarang, bagai terdakwa, berpasang mata itu menyorot ke arah yang sama.

Iya.
Itu aku.

Selepas pengarahan, sekapur sirih, basa basi atau apalah istilahnya itu. Aku diminta tinggal di ruang rapat ini. Sendiri.

Mendebarkan? Gugup? Takut? 

Tidak.

Percayalah. Ruang sidang di pengadilan agama berkali lipat lebih beraura gelap daripada ini. Lagipula garis besar pertemuan ini aku sudah paham. 

Ananta menelfonku semalam. tepat saat Nares akan mengantarku pulang. Awalnya dengan nada datar dia mengabarkan padaku orang tua dan beberapa keluarganya akan datang untuk kepentingan supervisi tahunan dan menjelaskan tentang rencana pengembangan sekolah untuk secondary school. Kemungkinan besar keluarganya menemuiku, juga dia katakan. Nanta juga meminta maaf membawa namaku serta. Kutahan untuk melampiaskan kekesalanku padanya. Dia menceritakan kronologi cerita yang nyaris sama dengan apa yang dituturkan Nares dan Citra. Aku menyimak. 

Ananta mengungkap dengan datarnya bahwa dia menolak perjodohan dengan Ribka dengan alasan suka padaku di hadapan semua anggota keluarganya. Dia tidak sadar apa. Sekalipun dia tak pernah mengungkapkannya padaku secara langsung. 

Yang paling membuatku jengkel dan akhirnya meracau tak karuan adalah saat dia bilang tak suka kedekatanku dengan Hanenda. kami bersitegang. Peran dia di hidupku apa? Suami bukan. Pacar? Tidak mungkin. Aku marah padanya. Bahkan kukatakan akan resign kalau seorang DoS memang punya wewenang mengintervensi urusan pribadi  karyawannya. Dia menyerah, lalu meminta maaf karna hilang kendali dan karena tidak bisa mendampingiku saat keluarganya menemuiku hari ini. Sepulang dari Jakarta nanti dia minta waktu bicara denganku. Aku menyanggupinya. Kami memang perlu bicara. Terutama aku. Apalagi setelah di akhir percakapan kami, dia mengakui perasaannya padaku. Sebelum mendengar responku dia mengucapkan salam dan menutup telepon sepihak.

Ananta sinting? 

Aku setuju. 

Karena itu aku harus segera menegaskan dan menuntaskan ini semua. Aku tidak mau lagi memiliki hubungan yang rumit. Dari pengalaman yang lalu, dengan restu orang tua masing - masing saja aku gagal berumah tangga. Apalagi yang sedari awal sudah penuh intrik dan drama.

"Ms. Nae. Mohon maaf kami harus menemui anda disini. Anda pasti kurang lebih sudah mendengar dari Ananta maksud kedatangan kami kemari."

Pak Ardha. Dialah yang berbicara saat ini. Kakak kedua Ananta. Saat melamar ke institusi ini beliaulah yang menduduki posisi DoS. Dia memberikan tongkat estafet DoS kepada Ananta ketika harus mengambil alih perusahaan keluarga. Beliau cukup akrab denganku.

Aku diam,mendengarkan dengan seksama saat ayah pak Ardha menjelaskan tentang perjodohan yang sudah dilakukan keluarga Ananta dan keluarga Ribka. Fyi, Ribka ada diantara kami saat ini. Dia duduk di samping ibu Ananta, memandangku dengan tatapan intimidasi sejak awal aku memasuki meeting room tadi. 

"Bukan kami memandang strata sosial disini ms. Nae. Tanpa bermaksud tidak sopan, kami perlu mengingatkan bahwa meski Ananta sudah cukup dikatakan dewasa, tapi dia belum pernah menikah," ibu Ananta ikut bersuara. Tidak dengan sinis. Tapi bagiku tetap sadis. 

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang