7. Mantan Mertua

391 89 9
                                    

"Assalamualaikum," kuucapkan salam setelah mengetuk pintu jati yang setengah terbuka di depanku.

Suara mama terdengar samar menyahut dari dalam rumah, "waalaikumussalam."

"Lho, nduk, masuk Nae, mama kira siapa,"sambut mama sambil memeluk dan menciumku setelah kucium tangan beliau. " Kangen mama nduk, sama siapa?"

Kuikuti langkah mama ke sofa seraya menjawab, "sama Naka dan teman Ma. Tadi di jalan motornya mogok. Untungnya ketemu teman yang juga wali murid di sekolah."

Naka dan Hanend mengucap salam bersamaan dengan papa yang keluar menemui kami di ruang tamu. Kami berbasa - basi sebentar sampai kulirik jam di pergelangan tangan. Isyarat Naka dengan matanya yang seolah berkata "cepetan!" juga jelas kutangkap.

"Ehm, Pa, Ma, Nae kesini ada perlu sama Mama dan Papa. Err, bisa bicara di dalam?"

Mama dan papa mengiyakan kemudian pamit pada Naka dan Hanend sebelum beranjak ke ruang keluarga.

Kuutarakan maksud kedatanganku sambil meletakkan kantong plastik hitam berisi uang sebesar seratus dua puluh juta rupiah yang sudah kuhitung sampai 4 kali semalam. Mereka tentu saja menolak awalnya. Berkeras tak mau menerima. Tapi akupun tak kalah kukuh dengan niatku mengembalikan uang itu.

"Nae, Mama sungguh minta maaf atas nama Gatra. Mama malu sama Nae. Rumah itu memang sudah hak kamu Nak. Kami yang minta Gatra memberikan hak penuh atas rumah itu. Bahkan rencananya, Mama dan Papa akan bantu lunasi rumah itu untuk kamu dari hasil panen kebun bulan depan. Setidaknya meski ndak mengurangi kecewamu atas Gatra, ada yang bisa kami lakukan untuk mengikis rasa malu akan kelakuan Gatra. Tapi kamu malah, malah..."

Mama tak melanjutkan kalimatnya. Beliau menangis. Mataku ikut basah. Papa mengelus pundak mama perlahan. Beliaupun juga meminta maaf padaku. Mama memelukku beberapa lama, kami larut dalam fikiran masing-masing.

Setelah tenang, mama menghapus jejak air mata di pipiku. Beliau setengah memaksa memintaku menginap malam ini. Tentu saja kutolak. Meskipun aku tetap menyayangi mereka, kenyataan bahwa aku bukan lagi menantu di rumah ini tak bisa dipungkiri. Apalagi kalau misalnya Gatra tiba - tiba datang. Meskipun sekarang kabarnya dia tinggal di salah satu rumah yang dia sebutkan beberapa waktu lalu saat menemui aku dan keluargaku. Tetap saja, tidak nyaman. Bicara tentang Gatra. Dia dan Gupita sedang sibuk merancang pertunangan dan pernikahan mereka. Mama terlihat tak suka saat menceritakan hal ini padaku.

"Mbak Vit arep babaran, nduk. Mungkin nanti babaran di Jember. Kalau nanti Mama nengok Vit di Jember, temenin mama ya, nduk?

"Lho, mbak Vit sudah di Jember Ma?" tanyaku sambil membawa cangkir tehku yang isinya sudah tandas ke bak cuci piring di dapur lalu mencucinya.

"Sudah nduk, tadi. Ndak lihat di grup? Tadi Vit pamit ndak bisa mampir dulu. Langsung bablas ke rumah pak Joko."

"Oh gitu, ndak lihat Nae Ma. Nanti Nae usahakan jenguk kesana kalau ada waktu,"ujarku tulus.

Terlintas begitu saja di kepalaku untuk pamit keluar dari grup WA keluarga. Aku mencoba menguatkan hati lalu berucap perlahan, "mmm, Ma. Nae, izin keluar dari grup WA keluarga ya."

Mama yang kaget dan langsung memutar badan, tak menyadari bahwa ada aku dibelakang beliau. Tangan mama tak sengaja menyentuh cangkir yang kupegang tak begitu erat. Cangkir itu jatuh tak terelakkan. Pecah berkeping - keping saat menyentuh lantai. Bunyinya yang berdenting keras membuat para pria yang ada di depan bergegas datang. Tak terkecuali Hanenda.

Mama diam mematung di tempatnya. Seperti tak sadar. Naka dengan sigap membantuku memunguti pecahan kaca di bawah kakiku dan mama. Papa membantu mama menepi, sedang Hanenda membawa sapu dan pengki.

"Kenapa nduk? Kok sampai pecah?" Ada nada khawatir di pertanyaan papa.

"Mama tadi yang balik badan ndak lihat - lihat Pa. Maaf ya nduk. Ada yang luka?"

Mama berjongkok dan meneliti tanganku. Beliau sudah bisa menguasai diri. Aku menggeleng. Tak sanggup bersuara, aku memilih diam.

Bukan.
Bukan aku yang terluka.
Tapi mama.

Aku melukai hati beliau yang sudah menyayangi sungguh - sungguh. Maafkan Nae, Ma. Aku mengulang - ulangnya dalam hati. Tak mengira hal kecil ini membuat mama kecewa. Ada mendung di mata beliau. Mungkin mama salah mengartikan niatku untuk keluar dari grup keluarga Waluyo. Tapi kuharap beliau akan pelan - pelan mengerti nanti. Aku tetap menyayangi mereka, tapi sudah ada jurang pemisah yang kasat mata. Hubungan kami sudah sah tak ada ikatan keluarga. Bagaimana mungkin namaku tetap ada di list anggota keluarga. Kan aneh.

Aku, Naka, dan Hanenda pamit setelah membersihkan pecahan - pecahan kaca. Mama setengah memaksa mengajak kami makan. Tapi kutolak karena sudah malam. Motor yang masih mager di bengkel dan belum diambil menjadi alasan utamaku. Mama menyerah. Papa mengangsurkan kantong plastik berukuran jumbo untuk Hanend dan Naka berisi hasil panen jeruk di kebun papa. Setelah bersalaman kami pamit. Hanend lebih dulu masuk ke mobilnya diikuti Naka.

Mama kembali memelukku, menangis dan minta maaf saat akan kulangkahkan kaki menuju pintu mobil. Aku membalas pelukan mama lalu meyakinkan beliau bahwa selain fakta aku bukan lagi istri Gatra, aku masih Nae yang sama. Yang akan selalu menyayangi dan menghormati beliau, sebagaimana mama dan papa memperlakukanku. Mama menyeka air matanya dan berterima kasih.

Dari ujung jalan Mazda merah bergerak memasuki halaman ke sisi kiri mobil Hanenda. Aku mengenal mobil itu. Mobil yang sama yang mereka kendarai saat pergi ke rumah mengantar kunci.
Iya.
Gatra dan Gupita.

Mereka keluar dari mobil dengan menenteng beberapa paper bag di tangan. Gatra mengucap salam sambil menatapku antara bingung dan canggung. Wanita di sampingnya sangat kentara tak suka dengan keberadaanku di hadapan mereka.

"Nae, sudah lama?" ujar Gatra basa basi.

"Lumayan, ini sudah mau pulang," jawabku singkat.

Kuraih tangan mama dan papa sekali lagi. Benar - benar pamit. Memberi salam lalu berbalik badan dan masuk ke dalam mobil. Kaca mobil tak dibuka Hanend atas permintaan Naka. Mobil bergerak mundur dan meninggalkan rumah mantan mertuaku. Gupita tak sekalipun menoleh ke arah kami. Dia langsung masuk membawa tas belanjaannya saat aku membuka pintu mobil tadi.

"Maaf mbak, adhek udah gak sopan. Nggak kasih kaca di buka. Eneg lihat muka Gatra sama selingkuhannya."

Ciiiiiittttt.

Tiba - tiba mobil Hanenda terhenti mendadak. Aku terjungkal ke belakang.

"Ma maaf, ada kucing lewat," ucap Hanenda. Kami mengangguk meresponnya. Kulihat keluar, tak ada kucing. Ah, mungkin sudah berlari pergi.

Kami semua terdiam beberapa saat sampai ponsel Naka berdering. Dari yang kutangkap, dia sedang berbicara dengan montir motor. Naka dan montir di bengkel memang sempat bertukar nomor telepon.

"Mbak, motornya parah katanya. Harus 'opname'. Besok atau lusa baru bisa diambil. Takutnya juga turun mesin mbak."

Aku menghela nafas berat. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Memang akhir - akhir ini Putih sering ngambek.

"Mas, kita jadinya nebeng sampai rumah ini. Mas Hanend apa ada kepentingan lain?" tanya Naka.

"Enggak sih. Tapi keberatan gak kalau kita cari tempat makan dulu? Saya lapar. Sempet bahagia sih tadi pas ditawarin makan," tuturnya jujur.

Aku dan Naka tertawa. Kami tentu tak menolak, karena perut kamipun berbunyi minta diisi.

Comments and Votes will be well appreciated!

Typos? Feel free to let me know. :)

Thanks

XOXO

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang