32. Jeda

294 66 15
                                    

Hola... Monggo dinikmati, mumpung masih anget Gaess...wkwkwk

Enjoy reading, Yeorobeum!


"Saya sudah dengar dari Nanta dan Nenda."

Aku duduk berseberangan dengan mas Uko. Akhirnya. Setelah dipermainkan semesta (lagi) tadi pagi, dengan episode kebetulan yang kubenci, terang saja mas Uko tidak tinggal diam. Entah bagaimana caranya dia sudah ada di lobby gedung saat aku selesai dengan sesi interviewku.

Kami berakhir di cafe terdekat. Setelah perbincangan ringan sesaat, mas Uko mulai membidik masalah yang ingin ia kupas tuntas.

"Kamu egois kalau memutuskan hal ini sepihak. Coba lihat dari sisi Nenda, Nae."

Mas Uko memandangku lurus. Belum cukup dengan hardikannya. Matanya seakan ingin menelanku hidup-hidup.

"Saya minta maaf, saya nggak bisa basa basi. Tapi jujur, tindakan kamu kekanakan. Semua bisa dibicarakan baik-baik kan? Saya nyesel dukung kamu habis-habisan, ternyata kamu nggak seperti ekspektasi saya. Hanenda melabuhkan hati pada wanita yang salah."

Dengan posisi super lelah, fikiran yang sudah payah, badan lengket dan gerah, lalu aku harus menghadapi kalimat demi kalimat yang menyudutkanku. Hell ya. Bring it on!

"Salah Nenda apa Nae? Dia jujur soal perasaannya ke kamu. Hanya masalah salah paham kecil begini kamu lalu memutuskan komunikasi dengan dia, juga banyak orang."

Aku mendongak setelah puas menatapi lantai kayu yang kupijak.

Persetan. Cukup mas Uko menyentil egoku di saat emosiku tak stabil.

"Salah paham kecil? Hh... Menurut saya nggak. Ini nggak kecil, karena di otak saya, pondasi hubungan itu kejujuran mas. Dari awal dia sudah bohong sama saya. Dia ngerti konsekuensinya kalau saya tahu, tapi dia lakukan. Parahnya, dia juga bakal hancurkan rencana pernikahan adiknya. Lalu siapa yang mas sebut egois disini?"

Aku menjeda dengan meraup oksigen sebanyak mungkin, berusaha menormalkan emosiku yang mulai naik. Beruntunglah nama Tito tertera saat ponselku berdering.

"Mbak Nae masih di cafe kan? Ini lagi macet banget, tapi udah deket situ kok. Maaf ya."

Aku mengiyakan. Sedikit lega, karena artinya aku tidak perlu berlama-lama bersama mas Uko.

"Kamu ganti nomor?"

Sial.

Aku mengangguk.

"Kamu masih gamon sama mantan suamimu atau gimana? Sampai segitunya ambil sikap? Pakai acara ganti nomor segala. Childish, menye-menye, dan nggak elegant sama sekali. "

Ini ceritanya mas Uko mau apa sih? Jubirnya Hanenda apa netijen julid yang hobi ngejudge seenak udelnya? Serah deh!

"Sesukanya mas Uko mau bilang apa. Sekarang saya mau fokus ke diri saya dulu. Masa depan saya. Yang jelas saya dan Hanend sudah nggak ada apa-apa lagi, titik." Kuarahkan lagi pandanganku pada lantai kayu. Berusaha menghindari tatapan penuh selidik yang tanpa henti mengintimidasiku.

"Yakin?Kamu masih cinta kan sama dia?"

"Nggak!"Jawabku cepat.
Tito kamu dimana sih? Cepatlah datang To...

"Bener? Jadi nggak masalah ya semisal dia saya jodohkan sama polwan baru yang cantiknya mashaAllah. Kamu nggak bakal nyesel kan?"

Aku otomatis mendongak. Menghela nafas dalam lalu membuang muka tanpa menjawabnya.
Ya Allah ya Tuhanku. Sungguh kuingin berkata kasar.

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang