"Sudah mbak?"
Naka menyodorkan helm berlogo "GOJEK" kepadaku. Aku mengangguk kemudian memakai helm itu setelah menalikan tali sepatu kets yang terlepas. Adikku ini juga terdaftar menjadi salah satu driver ojek online sejak mata kuliah yang dia tempuh mulai berkurang. Hebatnya Dhinakara, ini adalah profesi selingan ke sekian demi menjalani hidup terpisah dari orang tua tanpa meminta. Pria termuda di keluargaku itu baru - baru ini menolak pekerjaan yang di tawarkan perusahaan kontruksi tempat dia magang. Sakti kan dia? Belum juga wisuda, sudah ada job yang menunggu. Konsen menyelesaikan rumah kami yang hampir jadi, alasannya. Bulan depan kami memang berencana boyongan ke griya kenanga.
Untungnya Naka ada kepentingan mengurus wisuda saat aku mampir dulu ke Surabaya untuk menjenguk Chesta. Setidaknya ada tempat aku menginap sebelum besok bertolak ke Jakarta.
"Jadi ke Rumah Sakit Onkologi dulu mbak?"
Aku mengangguk. Kukirim pesan melalui WA ke tante Rinta untuk menanyakan ruangan dimana Ches dirawat. Aku resmi memanggil beliau tante karena acap kali bunda Hanend memprotesku saat keseleo lidah memanggil beliau dengan sebutan bu.
Sebulan ini aku masih kerap menelepon atau bervideo call dengan Chesta. Tidak melalui ponsel Hanenda tapi tante Rinta. Aku dan Hanenda praktis tak saling menghubungi sama sekali. Pertemuan terakhirku dengannya adalah ketika dia bertemu Ananta untuk mengambil berkas kepindahan Chesta yang sudah kuurus sebelumnya. Dia berterima kasih atas semua bantuan dan bimbingan selama Chesta bersekolah di sini. Guru dan wali murid. Begitu saja. Dia juga memberiku bingkisan, kenang - kenangan dari Chesta katanya. Tas berlabel "Elizabeth" dan dres batik cantik berkombinasi warna jingga, hijau dan kuning.
Setelah hari itu kontak kami terputus. Sedikitpun Hanenda tak menghubungiku. Akupun tak berusaha menghubunginya. Terbesit sedikit kecewa. Namun, ini salahku juga. Ya sudahlah. Kalau dia sudah menyerah, aku bisa apa.
Sampai di rumah sakit tante Rinta menyambutku hangat. Begitu juga ayah Hanenda. Chesta jangan ditanya. Dia berteriak dengan wajah sumringah ketika tau yang muncul di balik pintu itu aku. Naka langsung jatuh hati pada Chesta. Mereka akrab dalam sekali sapa. Siapa yang bisa menolak pesona Chesta. Gadis kecil berkelopak mata lebar dengan pipi merona merah muda. Kami, Naka dan aku, berebut kata untuk bercerita dengannya.
Aku permisi ketika ada nada panggilan dari ponselku. Berjalan tergesa sambil mengusap layarnya, sebelum si penelepon memutuskan sambungan. Shani, salah satu teman kuliahku yang kutahu dari grup kampus juga lolos tes administrasi, meneleponku. Dia mengabarkan bahwa jadwal interview di undur sehari. Notifikasi email kuperiksa, dan benar. Bukan lusa tesnya, tapi diundur sehari kemudian. Beruntungnya aku belum claim tiket pesawat yang disediakan penyelenggara. Tapi izinku di sekolah bertambah satu hari.
Aku berjalan gontai saat memasuki kamar Chesta, langsung menuju ranjangnya. Chesta masih asyik bercerita dengan Naka. Aku lebih banyak terdiam dan melamun. Bingung memikirkan izin yang bertambah jumlah harinya. Kalau tahu begini kan lebih baik berangkat besok.
"Kenapa Nae, kok lemes gitu?" tanya bu Rinta.
"Ehm, jadwal interviewnya diundur sehari bu. Jadi nggak enak uda izin duluan," jawabku.
Perihal aku mengikuti beasiswa bu Rinta sudah tahu. Berbeda dengan respon Hanenda. Beliau justru memberi selamat dan menyemangatiku. Memberikan do'a terbaiknya.
"Lha mbak?Berarti Naka gak bisa antar, janji sama dosen hari itu, gimana?" sahut Naka setengah berbisik seraya membetulkan letak selimut Ches yang melorot, dia mulai terlelap.
"Sebentar, Nae nginap dimana ini rencananya?" tanya tante Rinta.
"Di kosan Naka tante. Saya sudah izin bapak kos, katanya boleh," jawab Naka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku ke- 2
ChickLitTentang Nae yang terluka Tentang Gatra yang mendua Tentang Ananta yang mengejar cinta Tentang Hanenda yang berduka Masih, tentang sebuah romansa. Cover by Windy Haruno