Hari Senin masih menyisakan beberapa jam lagi. Setelah rembug bareng Citra aku kembali ke kelasku. Dari jauh Ananta melihatku dengan tatapan tak terbaca. Aku abai. Aku tak membalas semua pesan Ananta. Beberapa kali sempat dia ingin menciptakan kesempatan berbicara, tak kuberikan dia celah. Kuhindari sebisa mungkin kontak apapun dengannya.
Sayangnya telepon dari bapak membuatku harus menemuinya mau tidak mau karena harus izin terlebih dahulu ke pak DoS jika akan meninggalkan sekolah.
Kuketuk pintu kaca perlahan. Suara Nanta mengisyaratkan padaku untuk masuk.
"Have a seat." Nanta mempersilahkanku duduk sambil membolak balikkan dokumen di mejanya.
Dia membiarkanku menunggu beberapa waktu. Tak memandangku sedikitpun. Apalagi sekedar bertanya. Ada keperluan apa? Ada yang bisa saya bantu? Ada masalah di kelas? Tidak, tak ada satupun. Dia bungkam.
"Sir, I've got to go home earlier. I come to ask your permission."
Akhirnya kukatakan juga setelah sekian menit dianggurkannya. Aku hanya sibuk melihat mata nanta di balik kaca mata minus berframe hitamnya. Ananta akhirnya meletakkan apapun itu yang sedang dia periksa.
"Are you Ok?" Dia tak merespon permohonan izinku. Malah menatapku lekat. "Look, I'm sorry for things happened two days ago. It was..."
"I am OK. You don't need to worry Sir. Can I go now?"potongku. Dia menarik nafas dalam dan kasar.
"Saya dan dia tidak ada apapun. Saya...."
"It's none of my business, Sir. Would you be professional? Regarding that we both are at school. I don't think that we can discuss it here." Potongku lagi.
"So, let me ask you for another cup of coffee, don't reject my phone call, reply my messages, give me your little time to talk." Tuntutnya.
"What for?" Tanyaku dengan nada sarkas.
"For God sake Nae. How could you be this difficult!" Ananta mengerang perlahan, gesturnya frustasi.
"It's me anyway. Knowing that I am a widow doesn't mean that you do understand me well." Kuhela nafas berat. Yang kukatakan terbilang tak sopan untuk seorang atasan.
"Saya izin sekarang pak. Orang tua saya sudah menunggu. Tugas saya koordinasikan dengan ms. Citra. Terima kasih." Aku segera berdiri tanpa menunggu responnya. Biarlah dianggap tidak sopan atau dipecat sekalian.
"Saya antar."
Aku menoleh padanya. Nanta makin tak kukenal, atau aku memang tak mengenalnya. Hanya setahuku dia orang yang konsisten dan taat peraturan. Bijaksana dan berdedikasi tinggi pada pekerjaan.
"Tidak perlu pak, ini jam kerja." Tolakku.
"Jangan GR Nae. Saya sekalian jalan. Ada pertemuan dengan yayasan 3 bahasa. Tunggu saya di parkiran. Jangan. Menolak. Karena saya tahu kamu tidak membawa kendaraan."
Aku diam tak mengiyakan. Dia pikir dia siapa. Kalau bukan DoS sudah kulempar sepatu ke wajah angkuhnya. Aku harus segera pergi tanpa dia ketahui.
Drrt Drrt
Ponselku bergetar.Hanenda Ayah Chesta
Nae saya mengantar bekal Chesta. Saya letakkan di resepsionis. Minta tolong ingatkan Ches untuk ambil disana ya. Saya sudah minta tolong Ananta juga tapi belum dibaca. Thanks.Ada harapan untuk kabur. Seketika ide cemerlang muncul di otakku. Ku ketik balasan secepat kilat pesan WhatsApp untuknya.
Me
Pak, ada di dekat sekolahkah? Kalau tidak keberatan saya bisa nebeng? :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku ke- 2
ChickLitTentang Nae yang terluka Tentang Gatra yang mendua Tentang Ananta yang mengejar cinta Tentang Hanenda yang berduka Masih, tentang sebuah romansa. Cover by Windy Haruno