12. Chesta, Kamu, dan Saya

508 88 40
                                    

"Ms. Nae!"

Chesta menubrukku setelah setengah berlari dari ruang tamu. Bu Rinta dan Pak Jentra mengikuti di belakang, Mereka menyambutku dengan tersenyum. 

"Seneng guru favoritnya datang Chest?" ujar bu Rinta yang disahuti anggukan Chesta. 

"Maaf bu, saya baru bisa jenguk sekarang," ucapku.

Bu Rinta menemaniku di Ruang tengah bersama Chesta. Sedang pak Jentra tampak sibuk dengan laptopnya di kursi taman samping. Pak Jentra mengerjakan pekerjaannya di rumah demi menemani Chesta. 

"Chesta sakit apa bu?" tanyaku penasaran. Chesta masih tergolong anak baru tapi absensinya tertulis izin hampir setengah bulan kalau dikalkulasi.

"Anka ndak cerita Nae?" tanya bu Rinta yang ku jawab dengan gelengan kepala.

"Chesta sakit panas kata Daddy. Nanti sembuh kalau Ches banyak makan dan istirahat Mham Nhae Hoooam," Chesta yang menyandarkan kepalanya di pahaku menjawab tanyaku sambil menguap.

"Chest ngantuk? Istirahat dulu ya nak? Mam Nae pulang dulu kalau gitu."

Chesta melingkarkan pelukan di pingganggku. Aku bingung. Pak Jentra yang kini ikut bergabung bersama kami melemparkan pandangan ke bu Rinta. Mereka saling menyunggingkan senyum.

"Chest mau ditemenin mam Nae bobok di kamar Daddy kayak dulu!"

Alamak...Aku makin merasa tidak enak. Tapi orang tua Hanenda malah tertawa mendengar Chesta merajuk begitu.

"Eyang ndak payu ini Chest? Sama eyang yuk... Kasihan mam Nae baru pulang kerja nduk. Yuk?"

Tangan bu Rinta terulur ke arah Chesta. Tapi tangan Chesta malah melingkari pinggangku makin kuat. Aku benar-benar merasa kikuk. 

Terpaksa sekarang aku disini. Menemani Chesta lagi terbaring di kamar Hanenda. Awalnya Chesta memintaku bercerita tentang teman-temannya. Tapi kemudian malah Chesta yang bercerita. Tentang rumah sakit, ruangan periksa, jarum suntik, bau obat - obatan yang membuatnya mual sampai akhirnya dia jatuh tertidur. Chesta sakit parahkah? Sampai harus keluar masuk rumah sakit berkali - kali?

Aku merapikan selimut Chesta sebelum meninggalkan kamar. Tidurnya pulas sekali. Raut cantiknya tenang dan damai. Andai putriku hidup, mungkin dia akan tumbuh secantik Chesta. 

"Nae, sudah tidur Chesta? Yuk tehnya diminum. Keburu dingin."

Bu Rinta membangunkanku dari kenangan masa lalu. Aku mengikuti beliau keluar dari kamar Hanenda. Inginku langsung saja pamit. Tapi Bu Rinta mengajakku ngobrol di taman samping. 

"Sini Nae, ini ada teh dan cemilan. Sudah makan belum? Makan dulu ya?"

Aku melirik jam dinding sambil menggeleng. Lalu meminta izin untuk terlebih dahulu menunaikan ibadah Ashar yang sudah lewat 1 jam lalu. Setelah selesai aku menemui bu Rinta kembali.

"Sudah lama mengajar di sana Nae?" tanya bu Rinta.

"Sudah lima tahunan bu," jawabku.

"Panggil tante sajalah Nae. Kata orang saya masih kelihatan muda lho, meski cucu sudah 3. Hehe."

Aku tersenyum dan mengangguk. Memang masih tampak muda beliau sih. Cantik dan anggun. Bu Rinta mulai bercerita bahwa beliau dan pak Jentra mempunyai 3 anak. 2 putra dan 1 putri. Satu putra mereka ada di Malaysia. Bekerja disana. Sambil merintis usaha kecil - kecilan di bidang properti. Sudah berkeluarga. Sedang si bungsu ada di Australia melanjutkan pendidikan masternya di bidang kedokteran. 

Hanenda adalah putra ke dua. Selain bekerja di kepolisian. Hanenda juga mengurus beberapa usaha keluarga. Pantas saja. Mengeluarkan uang 500 juta seperti beli kudapan. 

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang