14. Tertangkap Mata

319 81 20
                                        

"Nae, dipanggil Ananta ke ruangannya."

Info dari Citra menghentikan aktivitasku menilai prakarya siswa. Citra mengedikkan bahunya saat melihat mataku menyiratkan tanda tanya. Aku berdiri, merapikan meja, lalu berjalan gontai menuju ruangan si DoS.

Sudah seminggu ini Ananta pulang. Tapi sekalipun kami tidak pernah bertemu. Sebisa mungkin aku memutus kontak dengannya. Hidupku cukup rumit seminggu ke belakang. Enggan aku memberatkan otak dengan masalah Ananta. Pesan terakhir darinya bahkan belum kubalas. 

"I'm sorry to you on behalf of my family. Somehow if you think we have little time to talk. I'll be waiting that time coming, patiently." 

Selain dari Ananta, perpesanan di WA juga di penuhi beberapa pertanyaan dari keluarga Waluyo. Apalagi? Tentu saja Gatra menebar gosip versi dia. Mama bahkan meneleponku beberapa hari yang lalu. Meski masih dengan nada lembut dan bijaksana, nama Ananta disebut di udara. Aku tak peduli apa yang sudah dikisahkan Gatra pada keluarganya. Kuputuskan memenuhi permintaannya. Agar tidak lagi dia muncul dalam hidupku. Pelan - pelan kuberi pengertian pada mama sebisaku, bahwa memang sebaiknya beliau sekeluarga memberi restu pada Gatra, paling tidak agar putranya tak terus menumpuk dosa. Bagaimana pandangan mama padaku sekarang? Entahlah aku pasrah. Terserah.

Aku sampai di depan ruangan Ananta. Memutus kilasan kejadian seminggu ini di kepalaku. Kuketuk pintu kaca itu lalu menggesernya pelan setelah suara Ananta menginstruksikan untukku segera masuk.

"Sir, ada perlu dengan saya?"

Ananta mengangguk lalu mengisyaratkanku untuk duduk. Aku menduduki sofa di seberang meja kerjanya. Dia mengikutiku kemudian mengangsurkan sebuah map plastik transparan bertuliskan Fulbright DAI. 

"Fellowship?" tanyaku dengan mata berbinar.

Ananta mengangguk sambil menggaris senyumnya ringan.

"A short course for one semester. I think It's worth to try. The deadline is a month ahead."

Ananta kembali ke mode profesional dan jumawa. Beasiswa ke luar negeri adalah mimpi besarku yang tertunda. Bagaimana aku bisa melewatkannya begitu saja.

"Can I join?" tanyaku dengan semangat.

"Sure. I offered Citra as well, but she said she's going to get married soon. She declined it. If you are sure you're going to apply this. I'll prepare the Leave Approval Form and Institutional Support and Reference Form. So, you just take care the rest of the requirements."

Whoaaa. Tentu saja aku mau. Aku berterima kasih kepadanya diberikan kesempatan mencoba. 

Ananta mengingatkanku untuk segera mengambil legalisir hasil TOEFL ITP  yang  4 bulan lalu kami, satu sekolah ikuti. Alhamdulillah scoreku memenuhi persyaratan.

"Nae. Can we talk after school?" Nanta berujar setelah beberapa kali berdeham. lalu berkata - kata lagi," is two weeks enough for you to clear up ur mind?"

Aku sedikit alergi dengan kata "percakapan". Mengingatkanku pada Hanenda dan pengakuan mengejutkannya. Tapi ini harus. Alur tidak sehat antara aku dan Nanta memang semestinya dipangkas habis. Kuanggukkan kepala tanda setuju.

Bersyukur si putih bisa menemaniku lagi. Hal ini menjadi alasan utamaku menolak ajakan Hanend atau Nanta untuk berada di satu kendaraan yang sama dengan mereka. 

Hanenda.

Seminggu ini kami tidak bertemu. Dia sedang sibuk sekali nampaknya. Rencana mengajar privat Chesta juga batal karena ternyata Chest butuh istirahat total. Praktis hal ini membantu menghindarkanku bertatap muka dengannya. Namun begitu, dia kerap kali mengirimiku pesan via WA atau medsos lain. Keikut sertaanku di program beasiswa ini rasanya tak perlu kuberitahukan kepadanya. Aku tak berkewajiban mengabarkan pada Hanend kan? Toh selain fakta dia menaruh hati padaku aku bukan siapa - siapanya. 

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang