25. Pengakuan

313 68 20
                                    

Fresh fom the oven. Harap maklum atas ke-typoannya..😁

Enjoy Gaes...😚😚😚

Langit berubah gelap saat langkah lelahku tersaruk menuju tempat checklock. Lelah sangat.

Semalam setelah mengantar Hanenda ke rumah sakit, Nares menelpon dan setengah memaksa memintaku masuk keesokan harinya. Titah bos katanya.
Baiklah, aku memang karyawan biasa yang beruntung bisa tetap bekerja setelah 6 bulan vakum, dengan gaji pokok tetap mengalir dengan dalih tugas belajar demi menjadi lebih mumpuni dan profesional. Sudah menjadi keharusan aku langsung bekerja meski baru saja melepas lelah. No more excuse. Enam bulan 3 minggu sudah aku tabung gaji buta di rekening ciptaan sekolah. Atau sebaiknya aku resign saja? Bayar penalti, habis perkara.
Andai semudah itu saudara. Sebelum pergi, paduka Ananta telah menyiapkan surat berkekuatan hukum yang menyebutkan kesediaanku tetap mengabdi di sekolah pasca studi 6 bulanku purna. Cerdas? Awalnya kupikir iya. Tapi menimbang lelahku setelah berpuluh jam menempuh perjalanan pulang, cerdas itu sebelas dua belas dengan licik juga kejam. Nambah 1 hari tak bisakah? Dasar Ananta kompeni.

Secepatnya ingin segera pulang lagi ke rumah dan mengubur lelahku di kasur. Tapi rupanya cita-citaku ini tidak akan tercapai dengan mudah. VOC kw 3 itu sudah berdiri menjulang di samping mesin checklock.

"Hai. Capek ya?"

Aku praktis mendengkus kasar, "menurut ngana?!"

Ku cetak sidik jariku segera, lalu berbalik tanpa menggubrisnya. Ananta terkekeh ringan dan mengekor menuju kubikelku. Syukurlah di ruang guru tak ada orang sama sekali. Kalau masih ada satu orang saja, pasti habis aku besok di bully.

Aku memang sengaja mengubur diriku di kelas dengan tumpukan koreksian hari ini. Demi menghindari makhluk satu ini. Aku masih kesal bukan main. Tidak ingin melaporkan dan membagi pengalaman selama aku menimba ilmu setidaknya sampai kesalku padanya menyurut.

Mengingat lagi tante Rinta yang mengiba padaku untuk tinggal barang sebentar, paling tidak menunggu Hanend siuman membuat darahku naik lagi. Saat itu Nares terus mendesak dengan berbagai alasan sampai yang tak masuk akal. Seperti, si pangeran itu menjadikan pekerjaan 2 sahabatku jadi taruhan. Edan kan? Lebih edan lagi supir pribadi Ananta ternyata sudah menungguku di bandara sedari pagi kabarnya. Lalu menjemputku ke depan rumah Hanenda. Aku pun akhirnya memohon maaf pada tante Rinta sekeluarga dan dengan taksi online segera menuju rumah Hanend, mengepak barang, lalu pulang segera dengan mobil jemputan yang dikirim Ananta. Pukul 1 dini hari aku sampai Jember. Melepas kangen dengan ayah dan ibu sampai subuh. Lalu tidur 90 menit sebelum bersiap ke sekolah.

"Sebagai permintaan maaf, saya antar kamu pulang. Saya tunggu di parkiran."

Belum sempat aku menolak dia terlebih dahulu menembak tepat,"No objection. Period."

Kampret kan?!

Aku mengumpat panjang dalam hati sambil memasukkan hp dan kotak pensilku ke dalam tas. Sedang Ananta berjalan dulu menuju parking area. Dia kembali ke mode menyebalkan setelah 6 bulan tidak bertemu dan berkomunikasi.

Ralat. Ananta tetap membangun komunikasi. Dia kerap mengirimkan email. Tapi tak satupun kubaca. Malas. Paling juga urusan sekolah. Sengaja aku tak mengaktifkan nomorku sejak tiba di DC, malah menggunakan nomor baru yang kubeli disana. Hanya keluarga dan Hanend yang tahu.

"Tumben pintar, biasanya saya macam supir saja. Travelling abroad ternyata bagus juga buat kamu Nae," ujar Ananta saat aku duduk di samping kemudi.

"Dari pada anda protes dan saya harus membuang energi untuk keluar lagi dan pindah kemari. I'm a fast learner FYI."

Ananta terkekeh sambil menggelengkan kepala seraya menjalankan CRV putihnya.

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang