13. Percakapan

315 81 51
                                    

Aku di seberang meja. Berhadapan dengan seorang Hanenda Hastungkara. Tidak ada tatapan malu - malu atau tersipu.

Beberapa menit yang lalu dengan entengnya Hanenda menelfon orang tuaku. Lagi, tanpa meminta pendapatku terlebih dulu. Dia mengabarkan pada ayah bahwa aku ada bersamanya sekaligus memohon izin untuk mengajakku makan. Nahasnya, ayah mengizinkan dengan pesan moral mengantarku kembali ke rumah dengan selamat dan tidak terlalu malam. Memangnya aku ini masih gadis 17 tahunan?

Aku kesal bukan main.

Apa yang akan kujelaskan pada orang tuaku nanti? Mereka pasti curiga akan hubunganku dengan Hanenda.

"Nae?"

Aku tak merespon. Hanya menatap matanya lurus. Lingkar hitam di sekitar matanya terlihat nyata. Lemburan bukan bualan semata kuterka.

"Kita sudah bukan usia remaja lagi. Saya yakin kamu cukup cerdas menangkap maksud saya," ucap Hanenda lalu menghela nafas kemudian. "Saya pikir hidup saya akan saya serahkan sepenuhnya untuk Chesta. Ketika Ditya, istri saya meninggal. Tidak pernah sekalipun terpikir wanita lain untuk menggantikan posisinya," Hanend menggantung kalimatnya seraya memandangku lekat.

Aku memutus pandangan dari matanya, mengalihkan pada segelas lemon tea yang tersaji di hadapanku. Untung tak sedang banyak pengunjung di Wagiman Breakfast, Lunch, and Dinner Restaurant saat ini. Cuma beberapa gelintir orang yang itupun jauh dari teras lantai dua tempat kami berdua bicara sekarang. 

"Sampai saya bertemu kamu dan rentetan kebetulan yang luar biasa menurut saya. butuh berhari - hari untuk mengakui kalau kamu mulai mengusik hati saya. Puncaknya beberapa hari lalu, salah satu momen saya sulit mengontrol emosi. Andai tidak didahului teman kamu, pasti saya yang melayangkan tinju ke mantan suami kamu. Saya marah luar biasa melihat kamu dihina, terluka."

Aku masih diam. Menyimak perkataannya. Apa kabar jantung? Iramanya berdetak tak beraturan di telingaku.

"Saya frustasi saat puluhan pesan saya hanya kamu baca. Takut kamu kenapa - kenapa. Rasanya ingin saya tinggalkan saja tanggung jawab dan tugas yang bertumpuk itu." 

Kualihkan pandangan ke jalanan sekarang. Tanganku mulai dingin. Kenapa harus salting begini sih, Argghh.

"Lalu saya ingat prioritas saya. Chesta. Hanya Chesta mantera saya agar tidak menelepon ke nomor kamu beratus kali, sekedar mendengar suara kamu disela lemburan," aku Hanenda dengan sedikit menekan suara. "Saya terburu mencari penerbangan tercepat Jogja - Surabaya, Surabaya - Jember ketika tau kamu akan berkunjung. Sudah seperti anak ingusan yang kasmaran ya saya?" tanyanya retoris.

Dia menghela nafas berat dan panjang.

"Kamu apa kabar?"

Aku mengarahkan netraku kembali kepadanya. Kami bersitatap.

"Sehat," jawabku singkat.

"Say something Nae. Saya mungkin terlalu terburu menurut kamu. Saya juga tidak mengerti. Falling for you doesn't take time. Instantly happens."

Hhhh. Lalu aku harus bagaimana Hanenda. Aku kudu piye? It's too shocking.

"Nae, please."

Hanenda melekatkan 2 tangan dengan dahi menempel di tepian jari - jari telunjuknya.

Kuhela nafas panjang lalu berkata, "saya terlalu bingung mau bicara apa pak."

"Nae, kita sudah sepakat. tolong jangan buat langkah saya mundur lagi."

Aku menelan ludah.

"Hanend. Saya baru saja bercerai. kamu sudah melihat drama hidup saya berkali - kali. bagian mana yang bisa membuat kamu tertarik sama saya kalau bahkan menurut saya itu terlalu memalukan."

Kalimatku berceceran tak terarah. Sungguh aku tak tahu harus bicara apa. Hanya itu yang terpikir di otakku.

"Jadi 3 hari kamu gak balas pesan saya karena malu?" tanyanya.

"Apalagi terus?"

"Nae, Nae, Nae... Saya pikir kamu menghindar untuk menolak kehadiran saya," ujarnya dengan nada lega.

Kusesap lemon tea yang esnya sudah tak tampak lagi. 

"Kamu... tidak merasakan hal yang sama dengan saya?"

Aku tersedak. Terbatuk - batuk. Hanenda dengan sigap berdiri dan menepuk - nepuk punggungku, kemudian mengangsurkan beberapa lembar tisu.

"Saya tahu ini terlalu mendadak. Saya juga tidak merencanakan ini semua. Saya memang begini. Nekat. Saya nggak minta kamu membalas perasaan saya Nae. Saya juga masih konsentrasi dengan kondisi Chesta. Hanya, saya minta kamu jangan menghindar. Saya sudah tidak bisa anggap kamu guru anak saya ataupun teman biasa. Jadi biarkan saya mencoba mendekati kamu dengan cara saya, boleh?"

Ini sungguh tidak bisa kumengerti. Lidahku kelu. Harusnya aku bisa tegas berkata tidak. Tidak boleh. Tapi perasaan dan logikaku berdebat tak sependapat. Aku mulai gila sepertinya.

"Nend. Saya masih trauma dengan Gatra. Dia dan saya 2 tahun pacaran. 4 tahun berumah tangga. Dia juga yang awalnya membuat saya jatuh cinta. Namun, ketika saya sudah benar - benar memasrahkan hati saya. Dia membagi cintanya. Mengkhianati kepercayaan saya. Bahkan hal ini terjadi saat pernikahan sudah mengikat kami berdua," terangku.

"Saya tidak meminta kamu percaya saya secepatnya Nae. Biarkan saya membuktikan. Hati saya juga masih mencari tahu sedalam apa saya jatuh dan bersungguh sungguh. Saya cuma nggak mau membohongi diri lagi Nae. Saya hanya mohon sama kamu. Jangan tutup akses saya. Biarkan saya mencoba." ujar Hanenda, masih tidak menyerah.

"Seperti apa yang kamu mau Nend? Beri saya contoh, tidak menutup akses yang kamu maksud itu seperti apa?" tanyaku lelah. Aku mengalah. 

"Beri saya kesempatan mendengar ceritamu. Berceritalah apapun, bagi dengan saya. Jangan hindari saya. Balas pesan - pesan saya. Terima telfon saya."

Aku menyerah. Kuangggukkan kepala. Mengiyakan maunya agar segera topik canggung ini diakhiri. Seketika bayangan cantik Chesta muncul di benakku.

"Tentang sakit Chesta, kenapa kamu tidak berterus terang sama saya?"

Hanenda tampak menegang. Kuceritakan apa yang bu Rinta bilang padaku. Hanend lalu mulai membuka kisah. Gurat kesedihan nampak nyata terlihat di wajah lelahnya. Satu per satu diurainya sejarah sakitnya Chesta. Hatiku berdenyut nyeri. Kesedihannya menular kepadaku. Bocah kecil yang sejak 3 tahun kehilangan sosok ibu. Di usianya yang terbilang belia harus akrab dengan obat - obatan bermacam rupa juga pastinya kemoterapi yang menyiksa.

"Nae..."

Aku mendongak ke arahnya tanpa suara.

"Terima kasih. Saya bersyukur dipertemukan dengan kamu. Selain Chesta, sekarang ada kamu. Pusat hidup saya." 

Yuk recommin lagi biar saya khilaf triple up..wkwkwk :p

Comments and Votes will be well appreciated!

Typos? Feel free to let me know. :)

Thanks

XOXO

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang