15. Kabar

322 70 24
                                    

"Sudah lama Nduk?"

Mama terbangun dari tidurnya. Aku disini karena mbak Vit mengabariku bahwa mama di opname di rumah sakit. 

Beberapa minggu paska pertunangan Gatra dan Gupita, kondisi kesehatan mama drop. Terlalu lelah lahir dan batin ungkap papa padaku. 

Iya. Akhirnya mama sekeluarga datang mendampingi Gatra, merestui tanda hubungan resmi mereka sebelum nantinya berlanjut ke jenjang pernikahan. Terlepas ada atau tidaknya campur tanganku di sana, aku lega. Sedih? Anehnya tidak. Relieved. That's all. Melepaskan dan mengikhlaskan ternyata lebih menenangkan hati. 

Meskipun sungguh tingkah Gatra di luar nalarku. Sampai detik ini dia masih setia merecoki hidupku dengan asumsi tak bermutu. 

Ingatkah pertemuanku dengan Ananta di Legian?

Nasib sialku tidak berhenti saat bertemu Hanenda. Gatra dan rekan kantornya juga sedang ada acara di sana. Dia mengabadikan moment saat tanganku digenggam Ananta. Guess what

Yes. Dia mengirimkan foto itu padaku, juga di grup keluarga Waluyo. 

Brengsek? Sangat.

Malam itu juga aku di japri banyak anggota keluarga Waluyo. Kujawab apa adanya saja. Aku baru menolak Ananta. Dari respon yang kubaca. Kusimpulkan mereka lebih mempercayaiku daripada Gatra. Dikuatkan dengan kabar dari mbak Vit, pembela garis kerasku. Aku mengetahui bahwa Gatra kesal bukan main. Bukannya membeciku, kakak dan orang tuanya malah menyayangkan perbuatan tak bermanfaatnya. Aku tak merespon. Tidak menambah bumbu penyedap untuk berbalik menggosipnya. I'm done with my ex. who cares!

"Sudah Ma. Mama sudah enakan?" tanyaku sambil mengangsurkan teh hangat pada beliau. 

Mama mengangguk. Beliau lalu menceritakan banyak hal padaku. Terutama tentang Gatra dan perubahan sikapnya yang mama tidak suka. Aku tentu saja diam tanpa menyahut. Sampai akhirnya mama menanyakan tentang Ananta. Siapa, kapan, bagaimana, apa, mengapa. Semua kata tanya beliau gunakan. Aku? Apalagi yang bisa kulakukan selain menjawab apa adanya.

"Nae, masih sakit hati sama Gatra?

Nyuut.

Ada sedikit nyeri ketika mama menanyakan ini. Bukan karena aku masih menyisakan rasa untuknya. Lebih ke ingatan peristiwa terakhir kami bertegur sapa. Saat itu dia meremukkan sisa simpati dan hormatku padanya. Namun, Kejadian demi kejadian yang kualami akhir - akhir ini membantuku mengikis sakit hatiku pada Gatra. Hanya jika diingatkan, luka yang belum sembuh benar, pasti masih terasa sepintas pedihnya.

"Sedikit Ma. Mama ndak usah banyak mikir ya. Kami sudah besar Ma. Yang terpenting mama sehat sekarang. Biar bisa gendong Tito lagi," bujukku, mencoba mencari topik pembicaraan baru.

 Tito adalah putra mbak Vit. Usahaku berhasil, obrolan kami berubah haluan ke bayi menggemaskan itu. Sampai notifikasi email masuk memutus sejenak percakapan kami.

Aku membulatkan mata melihat isi surel itu. Dadaku sesak akan rasa haru. Aplikasi beasiswa yang kukirimkan di ambang batas pengiriman itu lolos tes administrasi. Meski tersisa interview untuk menentukan siapa yang berhak menjadi salah satu peserta terpilih, tidak berhenti kuucap syukur dalam hati. Mataku berkaca - kaca. Aku senang luar biasa.

"Kenapa nduk? Kok nangis?"

Aku menceritakan pada mama perihal kabar yang baru saja kuterima. Mama ikut bahagia. Beliau mengucapkan selamat kepadaku.

Ponselku berdering. Memutus euforia di hati dan otakku. 

Hanenda.

Dia mengabarkan Chesta dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan. Mimisan hebat berujung pingsan. Disela igauannya dia memanggil namaku. Aku segera pamit pada mama dan papa. Bergegas menuju Jember Klinik, rumah sakit tempat Chesta di rawat sekarang. 

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang