19. Ananta

378 74 26
                                    

Brakk!

Aku berjengit kaget. Wajah Citra gusar. Isi map yang dibantingnya berceceran di meja. Dia menyisir rambutnya kasar.

"Itu si DoS kenapa sih, PMS apa dia! revisi silabus gini amat. 3 kali coba! Article sama punctuation seuprit aja kudu cetak ulang, lha dia revisi tadi sekalian kenapa?! Huh!"

"Sini aku bantu Cit. Lesson Plan buat seminggu ke depan done kok," ujarku.

"Gak usah Nae, tinggal perintilan aja. Developing materialnya aja coba di check ulang. Heran aku nih yah. Biasanya juga dia gak gini - gini amat. Aura dementornya itu lho. Cindy juga ngeluh. Bayangin, seorang Cindy partner kelas atas yang perfectionist gitu, kena damprat juga sama Nanta."

"Akreditasi sekolah uda dekat Cit, stress kali dia," ucapku asal.

"Ya gak bisa seenaknya gitu dong. Cetak ulang berkali - kali. Gak efektif kan. Via email uda direvisi, pas tanda tangan kena lagi. Mikir nggak sih dia untuk memproduksi kertas 1 rim itu butuh 1 pohon yang usianya 5 tahun. Kalau semua bos macam dia, bisa gundul tahun ini juga hutan Indonesia!"

Aku menghela nafas, "ya sudah email aja hasil revisinya, kalau dia ACC baru cetak," saranku.

"Uda dari tadi begitu kali Nae. He said OK. Pas kusodorin minta tanda tangan, eh mentah lagi. Gimana aku gak mencak - mencak. Profesional kenapa, nggak biasanya dia gini. Ada masalah pribadi apa sih sampai... tunggu," Citra berhenti mengetik dan berbalik melihatku. Matanya menyipit curiga.

"What?" seruku.

"Kok ndak kepikiran kamu ya aku. Pasti ini. Bisa dipastikan kamu biang keroknya," tuduhnya.

Aku juga mengiyakan kecurigaan Citra dalam hati. Chat terakhir Ananta memang tak kubalas. Kubiarkan tidak terbaca sampai sekarang. Telfonnya juga tak kuangkat. Bukannya sepenuhnya sengaja tak kuangkat. Namun saat dia telfon, ponsel sedang tidak berada di jangkauanku.

"Nae. Kelewatan banyak cerita deh kayaknya diriku. Seminggu kemaren aku ketinggalan apa aja nih," Citra menaik turunkan alisnya.

"Kelarin dulu revisian, jangan nggosip di jam kerja," kilahku.

"Uda kelar. Kan uda ku bilang minor doang kesalahannya. Tanda baca sama beberapa kata gak penting. Uda ku email ke dia minta revisi, awas aja pas uda fix dia coret lagi. Resign aku semester ini!"

"Dudududu, segitunya hun... berapa kali revised sih segitu amat, kita nih uda dedel duel nyiapin dokumen standar proses yang tebelnya amit - amit, dibelani lembur sampai tengah malem aja masih kena semprot, woles ajalah," ucap Nares yang kini ikut nimbrung.

"Parah ya?" tanyaku.

"Banget!" jawab mereka kompak.

"Aku juga curiga ke dia ni hun," Nares memajukan dagunya menunjukku.

"Masa ada hubungannya sama yang di Surabaya sih," gumamku sambil menggaruk rambut.

"Apa? apa? ada apa?"

"Nares. B aja deh. Radar lamturmu kok ngelebihi cewek ih!"

Kutarik nafas perlahan. Lalu kubeberkan kejadian kemarin, juga tentang aku bermalam di kediaman Hanend dan tante Rinta. Pertemuanku dengan mas Uko juga kuceritakan.
Garis besar saja. Not in detail.

"Ini ada kemungkinan Nanta berantem sama pak Hanend nggak sih?" tanya Citra direspon jentikan jari Nareswara.

Analisa dari mana dia punya kesimpulan begitu?

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang