22. Recehan Hanenda

459 78 51
                                    

Waktu berlalu cepat. Aku mengucap syukur karena berbulan lalu status beasiswaku resmi berubah dari nominated menjadi selected.

Bahagianya luar biasa.

Mendengar kata 'selected' tentu mengingatkanku pada percakapan via telepon dengan Hanenda saat aku menjenguk Chesta. "Selected as Hanenda's wife to be" katanya. Hadeeh. PDnya itu masih tingkat dewa. Saat itu aku langsung menutup telepon. Bukan karena menghindari ucapannya, atau muak dengan kalimat yang mungkin bagi wanita lain berpotensi membuat hati meleleh. Aku langsung menutup telfon karena mendengar suara Chesta memanggilku.

Reaksi Hanenda saat itu?
Tentu saja panik.

Dia pikir aku marah karena kalimat berirama dangdut yang ia lontarkan. Sampai puluhan kali panggilan tak terjawab darinya tertera di layar ponsel. Setelah kukabarkan melalui pesan singkat bahwa aku sedang menemani Chesta, baru dia berhenti menelepon.

Ah, Chesta. Aku sangat merindukannya.

Aku praktis tak pernah mengunjungi gadis kecil Hanenda itu. Hanya berkirim kabar via pesan, telepon, atau panggilan video. Mau bagaimana lagi. Kesibukanku menggila karena harus bekerja ekstra untuk mempersiapkan materi bersama Citra sebagai bentuk tanggung jawab sebelum aku pergi. Selain itu aku juga harus mengurus persyaratan yang harus dilengkapi sebelum berangkat seperti paspor, visa, dan medical check up yang wajib aku lakukan. Selain tentu saja beberapa berkas yang harus kuurus ke universitas.

Hubunganku dan Hanend baik - baik saja meski masih stagnan. Jalan di tempat.

Yang membuat aku semakin kesal adalah, akhir - akhir ini dia tiba - tiba menjelma menjadi sosok romantis dadakan menurut versinya. Beberapa kali aksinya kerap kali membuat Nareswara kenyang menggodaku. Seperti mengirimkan satu box besar udang krispi saat aku lembur, padahal aku alergi seafood lezat itu. Mengirimiku kopi, nyatanya lambungku tak tahan meski itu minuman terfavorit. Jangan lupakan juga sebuket bunga mawar merah yang ia kirimkan ke sekolah, di hari pengumuman terpilihnya aku menjadi salah satu peserta yang diberangkatkan ke Amerika. Andai dia tahu, aku benci bunga mawar. Mengingatkanku pada Gatra. Yang dulu, sebelum dia selingkuh, tak pernah absen memberikan setangkai mawar merah setiap tanggal ulang tahunku tiba.

Aku diam dengan kelakuan Hanenda? Tentu saja tidak. Kuungkapkan secara langsung keberatanku berikut alasannya. Parahnya, titik fokusnya bukan pada ketidaksukaanku. Tapi ketidak tahuannya. Kiriman udangnya berubah menjadi ayam, kopi diganti menjadi jus buah, dan bunga mawar yang berubah menjadi krisan atau lili? Entahlah aku lupa namanya.

Kami memang lama tak pernah bertemu secara langsung. Dia sangat sibuk dengan urusan kantor. Belum lagi pulang balik Surabaya 4-5 kali dalam seminggu. Demi Chesta. Meski kondisi gadis cantiknya itu sudah lumayan tetapi tetap mengkhawatirkan.

Hebatnya, takdir ternyata tak lelah mempermainkan aku dan Hanenda. Hari ini aku berada di Jakarta kembali dalam rangka pembuatan visa dan rangkaian kegiatan PDO (Pre Departure Orientation) sebelum benar - benar berangkat 7 minggu kemudian ke Washington DC. Hanenda, seperti yang bisa ditebak, juga ada di tanah yang sama denganku. Di ibukota. Dia mengikuti training yang tidak bisa diwakilkan. Wajib Hanenda yang datang. Jakarta bagian mana juga aku tak tahu. Tidak juga bertanya. 

Pertanyaan yang mungkin muncul kemudian, apakah kami berangkat bersama? 

Tentu saja tidak. Tapi dia menjemputku di bandara saat ini. 

Hanend yang berada dua langkah di depanku, menyeret santai koper berukuran sedang berwarna abu - abu milikku. Aku mengikutinya tanpa suara. Kami sibuk dengan pikiran masing - masing bahkan sampai mobil yang setauku milik mas Uko itu meninggalkan area parkir bandara. Sampai akhirnya hening diantara kami dipecahkannya dengan ajakan Hanenda yang tak mungkin kutolak.

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang