"Besok acaranya jam berapa Nae?'
"InsyaAllah Ba'da maghrib Cit. Bantu - bantu lho ya."
"Siap. Pak DoS datang juga Nae?" tanya Citra lagi.
Aku mengangguk, "Nares yang bilang?" tanyaku, dibalas anggukan Citra.
"Pak Hanend datang juga katanya ya?"
"InsyaAllah diusahakan dia bilang."
Beberapa minggu ini waktu dan tenagaku terkuras untuk boyongan ke rumah Griya Kenanga. Alhamdulillah 2 minggu lalu rumah rampung. Setelah berbulan - bulan kutinggalkan. Untungnya dulu aku dan Gatra belum membeli banyak barang. Jadi rumah tidak terlalu sesak dengan perabot. Barang - barang ibu dan ayah juga sebagian besar dijual dan diberikan ke saudara juga tetangga. Tidak banyak perkakas yang kami bawa, seperlunya saja. Ayah mengizinkanku membeli beberapa benda baru agar rumah kami lebih cantik dan mathuk dengan design minimalis yang aku dan Naka rancang.
Besok adalah hari resminya kami pindah ke rumah itu. Aku memang bukan warga baru di sana, tapi orang tua dan adikku iya. Jadi ayah menghendaki diadakan acara pengajian dalam rangka tasyakuran dengan mengundang tetangga sekitar, kerabat serta beberapa teman dekat. Ayah juga secara pribadi meminta Hanenda datang. Beliau dan Hanend masih berhubungan baik meski urusan jual beli tanah selesai. Apalagi ketika tau aku "ditampung" di Surabaya oleh keluarganya saat jadwal wawancara di undur.
Keluarga Waluyo, mantan mertua dan iparku, tak lupa diundang ayah. Papa dan mama menyambut baik. Mbak Vit dan mas Aka berjanji datang. Begitu juga mas Rendra, putra sulung mama, akan hadir bersama istrinya, mbak Tary. Kebetulan mereka sedang besuk Papa dan Mama. Sedang Gatra dan Gupita entahlah. Tapi kurasa tak mungkin mereka datang. Kalaupun ikut juga, keluarga kami tak masalah. Asalkan acara tetap berjalan lancar tanpa kendala. Aku juga sudah memaafkan tentang insiden di sekolah waktu itu. Meskipun sampai saat ini kami tidak pernah saling terhubung lagi.
Aku bersiap pulang ketika layar ponselku menyala. Nomor tante Rinta tertera, melakukan panggilan video untukku. Kugeser layar ke atas. Wajah Chesta tampak disana. Ceria meski bibirnya terlihat lebih pucat.
"Assalamu'alaikum bunda..."
Masih kurasakan desir halus di hatiku tiap kali Chesta memanggilku dengan sebutan -bunda-. Padahal terhitung sudah berpuluh kali kami melakukan panggilan video seperti ini dalam bulan ini.
"Waal'aikumussalam cantik. Sehat sayang?" sapaku.
"Iya bunda. Barusan mimik obat. Bunda, my aunty has just arrived from Aussie. Would you like to meet her?"
"Hmm, Sia..."
Pertanyaanku terpotong suara Chesta yang berteriak keras memanggil sebuah nama.
"Onti Hisaaa! Sini!!"
Wait, who? Hisa?!
Nama itu sempat mengganggu tidurku pasca malam itu. Siapa dia? Ada hubungan apa dengan Hanenda? Kenapa ada kilat resah di mata Hanend saat Ananta menyebut namanya? Hisa, lelaki atau wanita?
Beberapa pertanyaan itu berputar terus di benakku tanpa ada kejelasan. Sebelum akhirnya konsentrasiku teralihkan oleh urusan rumah.
Saat itu akhirnya kami pulang dalam diam. Ananta, aku , maupun Hanenda enggan bersuara. Setelah hari itu kami, aku dan Hanenda tetap berkomunikasi. Berkirim pesan, telfon, ataupun video call. Meski kebanyakan topik dan kepentingannya untuk Ches, tapi sesekali dia bertanya tentang aku.
Aku tidak bertanya apapun tentang seseorang bernama Hisa. Sadar posisi. I'm not someone to him, tidak ada hak untuk tahu lebih jauh.
"Halo, Assalamu'alaikum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku ke- 2
ChickLitTentang Nae yang terluka Tentang Gatra yang mendua Tentang Ananta yang mengejar cinta Tentang Hanenda yang berduka Masih, tentang sebuah romansa. Cover by Windy Haruno