30. Friksi

451 67 26
                                    

Baru banget ditulis. No editing harap maklum yes.

Enjoy!

"Kalau urusan dengan mantan suami selesai, saya tunggu di sini. Parkiran RS kamu berada sekarang. Satu - satunya Expander hitam."

Oke. Baiklah. Mari hadapi ini.

Sudah sekitar 20 menit berlalu, tapi Hanend masih setia membisu. Aku tidak sabar mengumbar emosinya, tapi dia tetap datar, konsentrasi penuh membelah jalan.

"Kamu kok nggak bilang kalau pulang hari ini?" Tanyaku akhirnya.

"Hm? Harus ya?" Jawabnya sambil memutar haluan ke kanan tanpa melirikku.

Asem.
Ini sih sepertinya aku yang bakal meleduk.

"Ya..enggak sih." Kucoba menurunkan tensi dan menaikkan gengsi.

"Kamu sendiri kenapa nggak bilang reunian sama mantan?"

Oke, baiklah. Jangan lupakan ini datang bulan hari kedua. Jangan menyesal kalau aku ikutan marah. Pizza seloyang nggak bakal cukup untuk sogokan. Paham komandan?

"Harus ya?" Tantangku.

Hanend menolehku sebentar sebelum menjawab cepat,"haruslah!" Nadanya mulai naik.

Aku berdeham sebentar, lalu memancingnya, "kamu cemburu ini ceritanya?"

Dia akhirnya melihatku dengan pandangan sengit, "menurut kamu?"

Aku nyaris meledakkan tawa. Batal kalau begini acara bakal murka. Cute banget. Aku berdeham sebentar sebelum menjawabnya.

"Maaf saya nggak bilang dulu tadi. Karena memang bukan untuk menemui Gatra saya ke rumah sakit. Mbak Vit bilang mama mau bertemu. Mau cerita tadi sudah terburu. Pak gojek sudah sampai, lalu lupa yang mau wa. Maaf ya. Tapi beneran tadi nggak ada acara janjian sama dia. Kita juga ngobrol paling 15 menitan. Lalu ayah sms, saya langsung pamit pulang."

"Memang kalian masih ada yang perlu diobrolkan?"

Aku tersenyum. Pria di sampingku ini kalau merajuk lucu.

"Kamu mau tanya kami ngobrolin apa aja tadi, gitukah maksud dan tujuan kamu?" Terkaku.

Hanend diam lagi. Fokus kembali pada kemudi setelah berdeham sebentar.

"Gini ya bapak Hanend, garis besarnya Gatra minta maaf atas perbuatannya. Dia menyesal. Hmm, dia juga cerita sedikit hampir cerai sama istrinya tap..."

"Apa?! Yang benar saja. Ngapain dia cerita masalah rumah tangganya segala? Setelah dia sakiti kamu, menyesal, lalu ada niatan balikan lagi gitu? Enak aja. Nggak ada ya!"

Astaga Hanenda. Njengkelin tapi imut gak sih begini ini tingkahnya.

"Kamu bisa dengerin saya dulu nggak? Gak usah ngegas deh, selow aja. Tapi sebentar, kita ini mau kemana?"

Jalanan yang kami lewati sepertinya bukan jalur kota. Bahkan sudah melewati terminal.

"Surabaya, saya sudah izin bapak sama ibu tadi."

"What?!"

~•~•~•~•~

Hanenda edan.

Itu yang ada di otakku.

Apa yang dia lakukan bisa dikategorikan penculikan tidak sih? Tapi penculik mana yang izin pada orang tua dulu? Gilanya, orang tuanya mengizinkan.

Nasib.

Bagaimana bisa ceritanya begini? Ayah dan ibu bukan orang yang sembarangan memberikan izin anaknya dibawa orang asing. Well, Fine, Hanend bukan orang asing. Tapi ayah kenapa tega membiarkan anaknya dibawa laki-laki yang statusnya bukan suami untuk perjalanan jauh begini. Berdua, di mobil. 5 jam perjalanan bahkan bisa lebih?

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang