26. Gayung Bersambut

463 87 20
                                    

Votenya semakin menurun. Sedih sih. Tapi ya sudahlah.

Find typos? In line message ya. Belum sempat edit. Harap maklum.

Enjoy yang masih setia reading gaes😊.

Aku menyomot spikoe, oleh -oleh
legendaris khas Surabaya, yang tersaji di atas meja di samping sofa ruang keluarga.

"Mbok ya cuci tangan kaki dulu Nae. Wes gedhe kok ya sek koyo bocah nduk."

Kurespon dengan cengiran protes ibu yang baru saja kucium tangannya. Kemudian berlalu menuju tempat wudhu di samping mushola untuk mencuci kaki dan tangan seperti instruksi beliau.

"Dapet dari mana Spikoe bu? Enak. Uti Rien sudah pulang dari Surabayakah?" tanyaku seraya mengambil cangkir di lemari makan.

Ibu yang sedang menyesap teh melati favorit keluarga kami meletakkan cangkir lalu menjawab,"bukan. Uti Rien kan ke Malang Nae. Belum pulang kayaknya. Itu ada juga brownis pahlawan lho di kulkas kalau kamu mau. Buah -buahan juga ada."

"Banyak banget. Lha terus dari siapa bu?" tanyaku sambil meletakkan cangkir teh yang baru saja kuisi.

"Dari nak Hanend."

What?!

"Uhukkk..uhukk."

Seketika gigitan terakhir kue beraroma kayu manis yang kukunyah itu langsung tersembur keluar.

"Nae ah, jorok! Ndang dibersihkan, bikin semut!"

Aku segera mengambil sapu dan pengki. Kubersihkan segera remahan kue yang bercecer di lantai.

Apa -apaan. Hanend ke rumah? Ada perlu apa?

"Kalau sudah kesini Nae. Ibu mau ngomong."

Deg.

Apa yang sudah  Hanend katakan pada ayah dan ibu? Sampai reaksi ibu begini.

Aku melesakkan tubuh di samping ibu setelah meletakkan kembali alat kebersihan yang kupakai pada tempatnya.

"Hubunganmu sama nak Hanend gimana Nae?" tanya ibu tanpa prakata.

"Hmm? Hubungan apa ya bu? Kami nggak ada hubungan apa-apa cuman berteman bu, kami masih berteman baik kok" dustaku.

"Gitu ya?Yakin nggak ada apa-apa nduk? Kamu nggak ada rasa suka gitu sama nak Hanend?"

Gotcha!

Aku harus jawab apa? Ibu jarang bersikap seperti ini. Ini kok langsung di eksekusi.

Dulu saat aku berpacaran dengan Gatra, ibu tidak pernah se to the point ini. Beliau hanya kadang menasehatiku layaknya guru BK pada muridnya. Tidak pernah bertanya langsung dengan pandangan intens seperti yang saat ini terjadi.

"Ibu kenapa sih? Gitu amat pertanyaannya? Hanend bilang apa memangnya bu?" Alih - alih menjawab aku malah balas bertanya.

"Nak Hanend tadi kesini Nae. Yah, ngobrol banyak hal. Waktu ayah sama ibu takziah ke Surabaya, kami memang ndak ketemu nak Hanend. Dia sudah aktif bekerja. Jadi tadi ya ngobrolin banyak tentang putrinya. Nak Hanend yo wis tatag tapi kayaknya nduk."

Aku sedikit bernafas lega mendengar jawaban ibu.

"Tapi tadi ayahmu sedikit emosi pas nak Hanend bilang mungkin sudah buat hati kamu sakit. Bener kaya ngunu nduk?"selidik ibu.

Aku diam. Jantungku kebat kebit. Kualihkan pandanganku ke lantai sambil mengedikkan bahu.

"Tapi ayah dan ibu paham posisi nak Hanend Nae. Dia belum siap kehilangan putrinya. Dia merasa gagal sebagai seorang ayah. Karena ketika posisi anaknya sekarat dia nggak ada di tempat. Malah mungkin saat anaknya kesakitan dia malah sibuk kerja dan bahkan kamu yang ada di pikirkannya."

Buku ke- 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang