Aku hanya halusinasi saja, fantasi dalam otak ini terlalu kubiarkan tumbuh liar hingga tampaknya meracuni akal sehatku.
Itu adalah pertama dan kuharap yang terakhir.
.
.
."Dek, sini bentar bunda mau ngomong." mataku langsung menatap awas bunda dari arah dapur. Apa dirinya akan membahas soal nilai ulangan yang dibagikan tadi? Bunda tak bisa ku bodohi, seperti bisa membaca pikiranku, dia pastinya akan tahu jika aku lebih banyak menghindari kamar... Pastilah ada sesuatu yang tidak beres.
Karena seorang ibu selalu benar.
Anak? Mungkin terkadang benar, tetapi lebih banyak salahnya.
Aku menaruh teleponku di sofa agar jika di marahi habis-habisan, aku tidak terlalu merasa sakit dikata duniaku hanya terfokus pada ponsel pintar. Menjadi 'gila' karena benda tersebut hingga lupa bahwa diriku masih duduk di bangku persekolahan.
Aku masih memiliki nalar dengan batas-batasanku.
"Ya, bun?"
"Kasih ke kakakmu." bunda menyodorkan sebuah telepon hitam kepadaku. Aku memandang bunda heran.
"Bukannya punya kak Hoseok? Ngapa bunda yang pegang?"
"Tau dah, bunda gak ngerti ama kakakmu, tuh. Seneng banget ninggalin barang penting di rumah." biasanya yang suka lupa naruh barang dimana itu kak Namjoon, eh sekarang nular ke kak Hoseok. Bisa heboh satu rumah.
"Trus harus aku apain ini telepon punya kak Hoseok?"
"Buang aja gak masalah. Paling juga kamu diamuk."
Aku memandang bunda datar lalu balik arah untuk mengambil telepon milikku di sofa. Beruntung, bunda tidak membahas soal nilai ulangan. Aman ini mah, mungkin bunda lelah.
"Oh, tidak ada waktu untuk bahagia, nona muda. Berharaplah namamu masih terukir rapi di kartu keluarga, bunda masih punya urusan dengan nilaimu."
Sita aja udah bener sita ini telepon punyaku asalkan namaku masih utuh ada di kartu keluarga.
===
Satu kata yang pasti.
Bodoh.
"Heh kenapa ke dorm sebegini gede cuma buat balikin hp kuda liaaaar."
"Eh, ada untungnya juga si. Otomatis kan kaga bakal kena eksekusi emak, nyiahahaha"
Tetep aja nama terancam dari kartu keluarga.
Aku mulai menelusuri jalanan untuk mencapai tujuan puncak. Apalagi kalau bukan dorm milik Bangtan
Dormnya mantap skuy:)
Bisa saja sepanjang jalan telepon hitam ini ku lempar begitu saja semudah melempar batu atau menjualnya ke beberapa toko elektronik yang ku lewati tadi. Sungguh, bisa saja aku melakukannya. Baru sekitar sepuluh langkah dari rumah telepon milik kuda liar ini sudah bergetar berisik tidak jelas.
Sama ye kaya yang punya.
Banting sayang, biarin ngeselin.
Sepanjang jalan ku sumbat telinga dengan earphone dan mulai fokus memperhatikan jalanan ketika bertemu persimpangan jalan, melihat keadaan apakah aman untukku berjalan sekarang atau berdiam di tempat. Aku tak mau mengambil resiko.
KAMU SEDANG MEMBACA
me and my perfect brother
ספרות חובביםBrengsek! Menyebalkan! Tak tahu diri! Tidak punya perasaan! Berisik! Keras kepala! Egois! Usil! Tapi, kenapa aku masih menyayangi mereka saat ku tau semua realita tadi yang telah kusebutkan selalu terjadi pula padaku? Entahlah. Tetap saja walaupun m...