Dulu Reina pernah bermimpi untuk bisa tinggal seorang diri, selepas masa pendidikannya sebagai seorang taruni. Pun belum sempat itu semua terealisasi, sang papa dan mama telah terlebih dahulu mewanti-wanti agar ia tak meninggalkan kediaman Selkasa tanpa didampingi oleh seorang suami. Ya, niat hati ia hanya ingin mencoba menjadi seorang perempuan mandiri, namun tampaknya niat itu malah terlihat sebagai sinyal bahwa ia berniat ingin melarikan diri.
Hah! Sungguh niat yang mesti selalu dipendam dalam hati.
Melirik Arka. Ia jadi kagum dengan kegigihan juga kemandirian lelaki pemilik masa lalunya ini. Bagaimana tidak? Arka yang notabene anak satu-satunya dan ia tumbuh tanpa sosok sang papa, mampu meyakinkan semua orang bahwa ia mampu melawan rasa traumanya, hingga turut berhasil meyakinkan sang mama kalau ia tidak akan berakhir celaka.
Ah, Arka. Kagumku untukmu meski sejauh mana?
"Kenapa?" tanya Arka melihat Bulannya yang sedaritadi curi-curi pandang menatapnya. "Gugup, ya? Tenang aja, apartemen Arka bukan gudang sindikat narkoba."
"Ih, kamu tuh apa sih! Kalau ngomong jangan suka sembarangan! Ada orang dengar gimana?"
"Lho, 'kan Arka yang jalan sama polisi cantiknya. Jadi, ya, gak masalah."
Reina balas mendelik.
"Hehe ..., iya maaf, Sayang. Arka bercanda." Ia dengan serta merta menggenggam tangan Bulannya yang ternyata cukup dingin dari biasanya. "Kamu gugup, Arka tahu kok. Jadi, jangan dilepas, ya, tautan tangannya."
Reina menurut, ntah sejak kapan pula suhu tangannya berubah layaknya tengah menggenggam es batu. Namun, untungnya Arka lebih peka dalam memahami situasi itu.
Mengedarkan pandangan, lagi-lagi Reina dibuat kagum dengan hasil kerja keras lelaki yang sedang menggenggam jemarinya ini. Ya, ia paham betul bahwa Arka bukanlah tipe lelaki yang gemar menghambur harta orang tua. Kerja kerasnya tentu tak akan memakai embel-embel nama mereka. Jelas saja keberadaan apartemen di bilangan Jakarta Selatan khususnya daerah Sudirman Central Business District atau lebih dikenal sebagai daerah SCBD yang cukup elit ini adalah salah satu buktinya.
Ya Allah, Arka. Ternyata sudah selama itu kita tak bersua. Maafkan Reina yang telah meninggalkan kamu secara tiba-tiba.
Sesampainya mereka di unit apartemen Arka yang terletak di lantai dua puluh lima, lelaki itu lantas menempelkan access card di handle pintu unitnya. Pun saat daun pintu terbuka, ia segera merangkul pinggang Reina agar ikut serta masuk ke dalam sana.
"Assalamualaikum," salam Arka sesaat setelah melepas sepatunya. Ia menunduk untuk mengambilkan sandal rumah agar bisa dipakai Bulannya.
"Waalaikumussalam. Eh, ada Bulan sayang. Kamu ikut mampir juga ternyata." Tanpa disuruh, Mama Arka sudah lebih dulu menghambur untuk memeluk tubuh Reina. Menghiraukan sang putra yang kini tersenyum manis menatap keduanya.
"Halo, Tante. Tante sehat?" ujar Reina sesaat setelah pelukan Mama Arka sudah tidak lagi merengkuhnya.
"Alhamdulillah, Sayang. Tante sehat. Kamu sendiri gimana? Lancar-lancar aja, 'kan sama Arka?"
Reina kikuk. Memang hubungannya dengan Arka sejauh ini sedikit banyaknya telah berubah. Namun, apa boleh dikata, ia belum mampu mengiyakan permintaan Arka perihal lamaran yang telah lelaki itu ajukan di rumahnya.
"Alhamdulillah, Tante. Perihal hubungan Reina dengan Arka, mungkin bisa Tante lihat sendiri perkembangannya gimana."
Saat mulut Mama Arka akan kembali bicara. Namun, sang putra telah terlebih dahulu mengedipkan mata padanya, mengisyaratkan untuk segera mengganti topik pembicaraan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Pilot
RomanceBagaimana setelah kau memutuskan untuk pergi? Adakah yang kau rasa berbeda setelah hari-hari kita tak menemukan tawa lagi? Ah, mungkin hanya aku yang merasakan ini seorang diri. Ya, aku telah menetapkan hati. Jika kau pergi, aku pun lari. Namun, jik...