Tak terduga

357 46 2
                                    

Authors POV

Lusi Agisha Lessie, biasa dipanggil Lusi, atau Lu. Ia baru berumur tujuh belas tahun namun, sudah ditinggal kedua orang tuanya sebab sebuah kecelakaan. Setelah kecelakaan itu, ia berpindah asuh kepada tantenya yang merupakan adik kandung dari mamanya Lusi. Dan dari sinilah hidupnya dimulai.

Hari ini Lusi berdiri di depan gerbang sekolahnya sambil menatap lurus ke depan, matanya sayu dengan mulut membisu. Ini hari kedua setelah ia menjadi murid pindahan di sekolah itu.

"Hai, Lu?" seseorang menyapa Lusi dengan menepuk bahunya.

Merasa dipanggil, Lusi lantas menoleh, "Hai ...," Lusi tampak berpikir keras, mencoba mengingat nama Si Penyapa. Ia benar-benar lupa meski kemarin sudah mengenalnnya.

Melihat raut wajah Lusi yang tampak berpikir keras membuat seseorang itu tertawa geli,
"Rere, Lu. Gue Rere Anastasha," Rere mengingatkan.

Lusi tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal,
"Sorry, gue lupa."

"Nggakpapa. Ke kelas bareng, yuk!" Rere menimpali.

Lusi mengangguk.

***

Jam istirahat berdering sekitar lima menit lalu namun, Lusi masih sibuk mencorat-coret buku tulis miliknya sehingga tak menyadari Rere mulai mendekatinya. Gadis berambut ikal itu sudah berdiri di belakang Lusi sambil memperhatikan goresan pensil di atas bukunya.

"Wow!" Rere memekik takjub.

Lusi tersentak mendengar suara cempreng Rere hingga pundaknya menegang, Lusi menoleh ke belakang,
"Rere?!" Lusi tersentak. Rere tampak berseri dengan tatapan lurus ke arah buku tulisnya. Refleks Lusi menutup rapat buku itu dan memeluknya erat.

Mendapat perlakuan seperti itu Rere memperlihatkan tampang kesalnya,
"Kenapa, sih? Sini lihat!" ia menarik paksa buku tulis Lusi hingga terlepas darinya.

"Jangan!" Lusi panik. Ia berusaha meraih buku tulis miliknya, tetapi Rere menjauh.

"Eitss, tunggu dulu. Gue cuma pengen lihat. Bentar doang kok. Please boleh, ya?" Rere memohon.

Lusi menggeleng,
"Enggak. Siniin, Re!" ia berusaha meraih.

"Nggak mau. Gue mau lihat dulu," Rere berjalan mundur, ia berusaha melarikan diri dengan berlari ke luar kelas. Tapi begitu sampai di luar ia menabrak seseorang hingga membuat buku itu jatuh.

Lusi menatap lurus ke arah bukunya di lantai.

Aduh! Lusi panik.

Sedangkan Rere memegangi bahunya yang terasa ngilu,
"Duh, sakit tahu!"

Sayangnya seseorang itu tak menghiraukan rintihan Rere, ia lebih tertarik dengan buku yang ada di lantai. Gambaran di sana terlihat cukup jelas sebab bukunya terbuka lebar. Melihat Lusi tampak kaget dan berusaha mengambil buku itu, seketika seseorang itu memungutnya.

"Jangan di lihat!" Lusi dan Rere berseru bersamaan, hingga membuat murid di sekeliling mereka sejenak memperhatikan mereka.

Bukannya menuruti mereka justru seseorang itu malah mengamati coretan di buku itu, wajah tampannya terlihat datar.

Lusi semakin tegang,
"Kembaliin bukunya!" Lusi berusaha meraih namun, keningnya ditahan oleh seseorang itu dengan tangan kanannya membuat Lusi tak bisa mendekat.

"Hei?!" Rere jengkel melihat tingkah seseorang itu.

"Ini lo yang gambar?" tanya seseorang itu dengan tawa tertahan.

Lusi tampak kesal. Ditepisnya tangan seseorang itu dan menyahut paksa buku miliknya,
"Bukan urusan lo!" sahutnya kemudian berlalu pergi.

Merasa tertinggal Rere memanggil Lusi,
"Lu? Wait," ia menoleh sejenak lalu membalik badannya untuk menatap seseorang itu, "kalau dia marah sama gue itu semua gara-gara elo! Dasar, lo tuh emang bad boy ya, Zen?!" Rere mengarahkan telunjuknya pada seseorang itu yang ternyata bernama Zen.

Zen hanya angkat bahu sambil menaikkan alis, bertingkah masa bodoh atas ucapan Rere.

"Ugh!" Rere berbalik lalu mengejar Lusi, "Lusi?!"

Zen tersenyum simpul,
"Lu-ser?" ia terkekeh, "cute girl."

"Ada apa?" seseorang menyapa.

Zen menggeleng,
"Nggak. Gue heran, tenyata fans lo banyak juga, ya. Sampe ngegambar wajah lo sekeren itu. Ya, meski masih kerenan gue sih!"

"Apa sih?" Ia tak mengerti.

Zen berbalik badan dan melangkah meninggalkan temannya,
"Buruan, Fer. Gue laper."

Sementara yang dipanggil hanya menggeleng linglung, kemudian berjalan menyusul.

***

Di dalam kelas, Rere berusaha meminta maaf pada Lusi.

"Maafin gue, ya. Gue beneran nggak bermaksud gitu kok," ucap Rere memelas.

Lusi yang sedari tadi membenamkan kepalanya ke mejanya mulai bersuara,
"Gimana kalo dia ngomong ke yang lain?" ucapnya dengan kepala yang masih menempel di meja.

Rere menggigit jari,
"Duh, jangan sampe deh. Maaf, Lu."

"Kalo dia ngomong ke dia langsung gimana?" gumam Lusi, suaranya terdengar putus asa.

"Itu lebih parah lagi, sih!" Rere menanggapi, penyesalannya semakin mendalam, "gue beneran minta maaf, Lu," disatukannya kedua telapak tangannya pertanda memohon.

"Ntar kalo gue ketemu Fero pasti bakalan canggung banget."

Rere mengangguk,
"Iya juga sih," ia membenarkan. Tiba-tiba saja ia terkaget sebab Lusi mengetahui nama dari seseorang yang digambarnya, "tunggu dulu!" Rere menggebrak meja.

Lusi tersentak hingga membuatnya terduduk tegap sambil memegangi telinga, sekarang telinganya berdengung sempurna, "Aww! Kenapa lagi?"

Rere menatap Lusi dengan serius, "Jangan bilang kalo lo, tuh ...," ucapan Rere menggantung.

"Hah?! Apa?" Lusi semakin bingung.

"Stalker?" Rere menyipitkan mata. Ia menatap Lusi seolah dia seorang maling yang tertangkap basah olehnya.

"What? ! Gila, ya? Gue nggak kayak gitu kali!" tukas Lusi.

Rere tampak ragu,
"Terus kenapa lo bisa tahu kalo nama dia itu Fero? Padahal baru kemarin kan, lo jadi murid pindahan di sini? Ya ... meski kemarin sempat ketemu sama Fero di kantin," Rere bertanya.

Lusi menggigit bibir,
"Sebenarnya gue pernah satu sekolah sama dia, sempet sekelas juga," terang Lusi.

Rere terperanggah,
"Beneran? Wow, jadi kalian pernah saling kenal gitu?"

Lusi tersenyum kaku,
"Kalo itu sih, gue nggak begitu yakin."

Rere menghela napas,
"Gimana, sih? Masa pernah sekelas, tapi nggak saling kenal? Kayaknya itu nggak mungkin sih."

"Gue nggak pernah ngobrol sama dia sekali pun. Gue keburu salting kalo dia mau ngajakin gue ngobrol. Gue selalu ngehindar gitu aja dari dia jadi ya, mungkin dia udah lupa sama gue. Mungkin," tuturnya.

"Aduh. Kalo kayak gitu sih, gue nggak ngerti jadinya," Rere menanggapi, "tapi ini bagus loh. Mungkin aja kalian jodoh, makanya kalian bisa ketemu lagi di sini. Ya, kan?"

Lusi hanya angkat bahu. Ia tak yakin dengan itu.

"Tapi boleh lihat lagi kan, gambaran lo? Itu beneran mirip banget loh sama Fero," Rere bertanya, "lo bakat banget jadi seniman, Lu," Rere memuji.

"Enggak."

*****

I Choose You![COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang