Selesai menata makanan untuk makan siang bersama, Lusi melamun di meja makan meski bersama Zoey di sebelahnya. Entah sejak kapan ia tak mendengar ucapan Zoey, yang jelas sekarang wajah manisnya terlihat semakin menggemaskan membuat perempuan di sebelahnya menoel pipinya. Mendapat perlakuan seperti itu membuat Lusi mengaduh sakit sambil memegangi pipi.
"Kenapa ngelamun gitu?" tanya Zoey. "Kita di sini cuma berdua, Lu. Ntar kalau kamu kesurupan siapa yang ruqiyah kamu?"
Lusi hanya tersenyum kecil menanggapinya, lalu terdiam kembali seperti sebelumnya.
"Kenapa, Lu?" Zoey bertanya dengan nada pelan.
Lusi tak menanggapinya, ia malah berekspresi lesu membuat Zoey menatapnya heran. Tapi, perempuan itu tak berniat menayakan sesuatu lagi sebelum Lusi mangatakan sesuatu, meski sebenarnya dia sendiri penasaran dengan yang dipikirkan Lusi.
Sampai beberapa saat kemudian Lusi akhirnya angkat bicara, "Boleh tanya sesuatu tentang Zen?"
"Why not?" Zoey menggeser posisi duduknya supaya lebih dekat.
Lusi menarik napas lalu menghembuskannya, terlihat kikuk namun, tetap berusaha setenang mungkin.
"Dulu kenapa Zen pernah bilang kalau Mama nggak pernah suka sama keberadaannya, semacam benci kan? Kenapa?" Lusi meminta penjelasan, berharap Zoey bersedia menjabarkan meski ia tahu itu sesuatu yang sudah berlalu cukup lama.
Zoey tampak muram dalam seketika, tetapi tetap angkat bicara, "Dulu Zendy emang dapat perlakuan nggak adil dari Mama. Dia punya wajah yang mirip banget sama Papa. Karena itu Mama jadi benci, melihat dia sama aja kayak lihat Papa."
Lusi menatapnya empati, ia bisa melihat ada titik air mata di sudut mata Zoey, terlihat begitu menahan air matanya agar tak sampai jatuh. Ia memegang tangan Zoey yang terlipat di atas meja makan, mencoba mentabahkan hatinya.
"Waktu itu Kak Zoey selalu sembunyi-sembunyi kalau nemenin Zendy main. Waktu kasih dia mainan, jajan, atau apapun itu, kita harus selalu merahasiakannya dari Mama. Tapi kalau Mama tahu, pasti bakal diambil, dibuang, setelah itu Zendy yang dihukum, bukan Kak Zoey," ujarnya getir.
Mendengarnya saja membuat Lusi ingin menangis. Apalagi melihat Zen dan Zoey dalam keadaan seperti itu, mungkin dia tak akan kuat.
"Sekolah kami berbeda, Lu. Kakak belajar di sekolah ternama yang mahal, sementara Zendy home schooling. Dia nggak pernah boleh keluar rumah, tapi begitu ia dewasa, Zendy mulai berontak. Mungkin dia ngerasa iri sama Kak Zoey, semenjak itu dia nggak mau nyapa Kakak, nggak pernah ajak ngobrol, papasan aja pura-pura nggak lihat," jelasnya. "Sampai akhirnya dia di sekolahin di sekolah itu. Setelah itu dia makin berontak, malah nggak pernah pulang ke rumah, kalau ditanya diem aja. Mama udah muak, capek juga hadepin dia, terus Mama minta apa yang dia mau, tahu dia minta apa? Katanya, dia minta keluar dari rumah karena nggak mau tinggal sama orang-orang yang nggak sayang sama dia."
Lusi menunduk lesu, sekarang ia tahu alasan kenapa dulu Zen tinggal sendirian di rumah sebesar itu.
"Tapi setelah kepergian Zendy, Mama jadi sadar. Tiap hari Mama ke kamar Zendy, meski dia udah nggak ada di kamar itu lagi."
"Terus, kenapa Mama benci sama Papanya Kak Zoey?"
Zoey beralih menatapnya, tatapannya terlihat sangat tersakiti, "Dia udah pergi tinggalin kita, Lu. Mama besarin kita berdua sendirian. Berjuang sekuat mungkin dengan cara apapun. Kita sampai hampir di buang di jalanan kalau Mama nggak ngikutin mobil Papa waktu itu."
Lusi meneteskan air mata, ia tak sanggup mendengar itu, sangat menyakitkan dan begitu menyiksa. Ia tak tahu hal sepahit itu pernah dialami keduanya. Sungguh ia tak menyangka kehidupan mereka dulu seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You![COMPLETED]
Teen FictionSemuanya berawal dari sikap menyebalkan seorang Zen. Bagi Lusi, dia tak lebih dari seorang cowok yang sangat menyebalkan. Lusi memang tak mengenalnya, tapi Lusi tetap merasa terganggu dengan keberadaannya. Tapi setelah tahu sesuatu dari lelaki itu...