Menguntit

161 40 19
                                    

Di cuaca yang terik di sebuah sekolah, tepatnya di lapangan basket, di sanalah Lusi dan Rere berada. Keduanya duduk bersebelahan berlantai rumput hijau tebal dan berteduh di bawah pohon yang lumayan besar.

Rere tengah mengamati teman-temannya yang sedang asyik bermain basket. Sesekali ia bersorak menyemangati. Sementara Lusi seperti biasa selalu sibuk dengan pensil dan bukunya, untuk apa lagi kalau bukan menggambar?

"Hei, itu curang tahu!" Rere meneriaki salah satu pemain basket, rupanya gadis itu benar-benar jengkel, Lusi sampai terkaget dibuatnya.

"Sampe ke coret nih gambaran gue!" Lusi cemberut.

"Sorry. Nggak sengaja gue," ucap Rere.

Lusi tak menjawab, ia hanya mengembuskan napas panjang lalu menghapus coretannya.

"Re?" seseorang memanggil Rere dari kejauhan.

Keduanya menoleh bersamaan dan memperhatikan seseorang yang sedang berjalan mendekati mereka. Dia adalah si ketua kelas, Santi.

"Ada apa?" Rere bertanya pada Santi.

"Anterin gue ke ruang guru ngumpulin buku tugas dong!" Pintanya.

"Kenapa gak kesana sendiri sih? Ajak yang lain aja, deh!" Rere menolak.

"Yang lainnya nggak mau. Ayo, buruan keburu jam olah raganya abis, nih!" Santi membujuk.

"Udah, sana anterin dulu," Lusi menyela.

Rere menatap Santi dengan tampang pasrah, "Iya, deh." Kemudian mereka berlalu pergi.

Selepas kepergian mereka, Lusi mulai meneruskan gambarannya, sesekali Lusi memperlihatkan senyumnya. Ia terlihat senang rupanya, wajah cantiknya terlihat semakin manis jika tersenyum.

Tanpa ia sadari, Zen mulai memanjat pohon yang digunakannya untuk berteduh. Dari atas, Zen duduk dengan bersandar, ia mengamati tingkah Lusi.

Ngapain nih anak? pikir Zen. Ia mulai memainkan ponselnya.

Lusi selesai menggambar. Ia tampak tersenyum senang. Sesekali Lusi memeluk bukunya lalu mengamati gambarannya lagi,
"Gini aja udah cukup buat gue," ucapnya pada diri sendiri.

Syut!
Bukunya dirampas dari belakang.

Lusi ternganga kaget, refleks ia menoleh ke belakang guna melihat siapa yang mengambil bukunya,
"Elo?!" ucap Lusi dengan alis bertaut.

Bagaimana bisa Lusi tak marah jika orang yang sama telah mengambil bukunya? Siapa lagi kalau bukan Zen.

Zen tersenyum simpul,
"Ya, ini gue lagi. Hai, Lu-ser?" sapanya ramah.

Mendapat sapaan yang dirasa menyebalkan, Lusi hanya mengernyitkan dahi,
"Kembaliin buku gue!" tangannya mencoba meraih bukunya.

Tapi sayang sekali, Zen menjauhkan bukunya dari Lusi,
"Kalo gue nggak mau gimana?" Zen berjalan mundur ke belakang.

Lusi mulai jengkel,
"Itu punya gue, balikin nggak! Dasar maling!" Lusi menghampiri. Ketika sudah berada di depannya, lagi-lagi keningnya ditahan telapak tangan Zen, membuatnya tak bisa mendekat sama sekali, "ish! Apa sih, lo. Lepas!" Lusi menepis tangan Zen.

Zen hanya terkekeh melihat tingkah Lusi.

Ugh! Dasar sinting! Mentang-mentang jauh lebih tinggi dari gue, seenaknya aja perlakuin gue kayak anak kecil, ucap Lusi dalam hati. Kali ini dia benar-benar dibuat jengkel olehnya.

Lusi menghela napas,
"Mr. Maling, tolong kembalikan buku saya bisa, kan?" pintanya dengan tersenyum, nada suaranya halus namun, penuh penekanan.

"Nggak bisa," jawabnya dengan wajah semringah, seulas senyum merekah di bibirnya, "dan lagi nama gue Zen, Lu-ser," imbuhnya.

Mendapat jawaban seperti itu malah semakin membuat Lusi sebal setengah mati. Tapi ia masih berusaha menahan emosinya untuk kembali membujuk lelaki itu agar secepatnya mengembalikan bukunya, "Boleh gue nanya sesuatu?"

"Boleh aja," jawab Zen dengan melihat gambar di buku milik Lusi.

Tahu Zen sedang memerhatikan gambarannya refleks Lusi berteriak,
"Jangan di lihat, bodoh!" larangnya kesal.

"Tenang aja. Gue cuma mau lihat doang kok, gak bakalan gue peluk-peluk kayak lo tadi," Zen menyela.

Mendengar ucapan Zen seketika Lusi malu,
"Apa, sih?! Lo tuh emang selalu nyebelin kayak gini, ya?!" Lusi bertanya.

Zen mengalihkan pandangan dari buku itu ke arah Lusi,
"Ya. Kata temen-temen gue sih gitu," ia membenarkan. Nadanya terdengar sedikit membanggakan diri.

Lusi menggeleng, sungguh ia tak habis pikir dengan yang dikatakannya. Bagaimana bisa Zen dengan bangganya mengakui aibnya sendiri pada Lusi?

"Oh, gitu. Terus kenapa lo nggak mau balikin buku itu? Kan punya gue," Lusi bertanya lagi.

Zen berjalan mendekat kemudian berhenti dengan jarak cukup dekat dari Lusi.

Lusi segera waspada,
"Lo mau apa?" tanyanya curiga. Lusi sampai mendongak agar bisa melihat wajah Zen.

"Lo emang cute ya, kalo di lihat dari deket." Zen berucap.

Lusi terheran mendengar ucapan Zen. Tetapi dengan posisi seperti ini, Lusi segera memanfaatkannya,
"Makasih," jawabnya dengan seulas senyum, tak lupa tangannya berhasil meraih buku miliknya dari tangan Zen.

Tak perlu aba-aba lagi Lusi segera berlari menjauh. Ia akan lebih waspada lagi setelah ini.

Zen hanya terkekeh melihat tingkah Lusi. Ia berbalik badan dan berjalan sambil memasukkan tangannya ke saku celana.

***

Bel tanda pulang sudah berdering sejak lima belas menit lalu, tapi Lusi baru keluar dari kelasnya. Tugas piketnya yang membuatnya pulang terlambat.

"Lu, gue duluan, ya?" pamit teman piket Lusi.

Lusi mengangguk dengan tersenyum.

Seperti biasa Lusi selalu berjalan kaki sepulang sekolah, maklumlah jarak antara sekolah dan rumahnya tidak terlalu jauh untuk dilewati. Terkadang ia pulang bersama Rere yang memang rumahnya searah dengannya, tapi karena hari ini Rere tak ada piket Lusi memintanya untuk pulang duluan.

Saat Lusi melewati sebuah taman di area komplek rumahnya, ia mendengar suara seseorang yang tengah berdebat. Dan suara itu terdengar tak asing di telinganya.

Karena penasaran, Lusi mencoba mendekat. Ia berhati-hati agar tak ketahuan,
"Itu kan Si maling buku. Ngapain berduaan di tempat kayak gini? Tapi cewek yang lagi sama dia itu siapa?" tanya Lusi lebih kepada diri sendiri. Lusi terus memperhatikan mereka dari balik pohon. Rasa penasarannya lebih besar daripada rasa malunya jika ketahuan nanti.

Sementara Zen masih sibuk bicara dengan lawan bicaranya. Wajahnya terlihat sedikit jenuh, beberapa kali ia mengeluarkan tangannya dari saku celana, memasukannya lagi lalu mengeluarkan tangannya berulang kali.

"Aku cuma ingin melihatmu saja. Itu saja sudah cukup bagiku," ucap seseorang itu pada Zen. Ia mengenakan masker, kacamata hitam dan mengenakan kerudung berwarna putih untuk menutupi kepalanya.

Zen menghela napas lelah,
"Melihatku?" tanya Zen seolah tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Ia terkekeh sambil mendongak ke atas, "bukannya dulu Anda melihat saya saja sudah muak? Bahkan Anda tidak ingin melihat saya berada di sekitar Anda. Iya kan?" elak Zen sembari memandang lawan bicaranya.

Lusi yang mendengar percakapan mereka mulai bingung,
"Fix, ini mulai terdengar mengerikan di telinga gue. Lusi, ini bukan urusan lo," Lusi memukul kepalanya sendiri, "gue harus segera pulang," ucapnya yakin.

Saat Lusi kembali melihat ke arah mereka untuk yang terakhir kali, saat itu pula Lusi baru menyadari sesuatu,
"Itu bukannya ...," Lusi tampak berpikir sambil memerhatikan wanita yang sedang melepas kacamata hitamnya, "hah?!" tanpa sadar ia memekik, dengan cepat ia menutup mulutnya dan bersembunyi lagi di balik pohon.

*****

I Choose You![COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang