"Masuk!" untuk pertama kalinya Lusi mendengar Siska sedikit meninggikan suaranya.
Lusi tetap menunduk seraya membuka pintu mobil, ia mendarat ke kursi, lalu menutupnya lagi. Kakinya mulai gemetar seakan tak siap untuk menerima sikap dingin Siska sebentar lagi. Ia bahkan sangat yakin jika tantenya akan memarahinya habis-habisan, meski sebelum ini ia belum pernah dimarahi Siska. Mungkin Siska tak akan segan untuk menghukumnya. Bagaimana tidak? Lusi bahkan tidak meminta izin jika akan datang ke rumah sakit, dengan Zen pula.
Siska masuk ke dalam mobil setelahnya, memasang sabuk pengaman, dan melajukan mobil berwarna merah itu dengan kecepatan sewajarnya. Keduanya hanya diam selama di perjalan. Sekitar dua puluh menit akhirnya mereka sampai di halaman rumah.
"Turun, dan masuk ke kamar," Siska berujar sebelum akhirnya keluar dari mobil, suaranya terkesan dingin.
Lusi kembali menurut, ia berjalan di belakang Siska, dan tetap bergeming.
Siska berhenti sebentar sebab ponselnya berbunyi membuatnya refleks menatap benda canggih di tangannya, sedangkan Lusi tetap menuntun kakinya ke kamarnya sendiri. Sekarang tempat itu bagai satu-satunya tempatnya berlindung. Lusi berjalan dengan kaki yang terus gemetar, bahkan ia merasa sudah tidak bisa lagi merasakan kaki dan tangannya sebab menggigil kedinginan. Jujur, ia lebih baik ditampar oleh Siska daripada menerima sikap dinginnya yang dirasa lebih tajam ketimbang pisau.
Lusi ambruk ke lantai selepas menutup pintu, ia berharap Siska tidak membuka pintu itu agar tetap menjadi tamengnya untuk saat ini. Lusi meremas rok selutut yang dikenakannya, semakin lama semakin erat seakan itu dapat membantu menghilangkan ketegangan dalam diri.
Cklek!
Suara pintu terbuka.Meski pelan namun, mampu membuat Lusi tersentak. Refleks ia menoleh, dan mendapati Siska sudah berdiri di belakangnya.
"Berdiri, naik ke kasur," suara Siska pelan, tapi tetap ada unsur dingin di dalamnya. Dan jelas sekali jika ia sedang berusaha tenang agar tidak lepas kendali.
Lusi lantas berdiri, berjalan mendekati ranjang, dan duduk di sana. Ia tetap menundukkan kepala, sama sekali tak berani menatap wajah Siska.
Tangan Siska menarik kursi di dekatnya, duduk perlahan tanpa melepaskan pandangan dari Lusi.
"Lo tahu kan, kalau lo nggak boleh keluar kecuali sama gue?" Siska bertanya.
Lusi mengangguk pelan membenarkan ucapan Siska. Tanpa diketahui Siska, air matanya mulai menggantung di pelupuk mata.
"Sekarang sebutin tiga aturan dari gue yang nggak boleh lo langgar."
Mendengar itu lantas membuat kerongkongan Lusi terasa kering, susah payah ia menelan ludah.
"Satu, nggak boleh bolos," Lusi berucap lirih, "dua, nggak boleh keluar, kecuali kakak tahu aku kemana dan sama siapa, pengecualian jika dekat dari rumah-"
"Yang ketiga lebih keras ngomongnya," Siska memotong.
Lusi menarik napas sejenak, "Ketiga, nggak boleh temenan sama anak nakal."
"Lo tahu udah ngelanggar nomor berapa hari ini?" tanya Siska dengan suara yang masih terdengar dingin namun, tenang.
Lusi diam sejenak, berusaha menenangkan diri, "Nomor dua," jawab Lusi sambil memejamkan mata. Ia sangat ketakutan saat ini.
"Lagi?" Siska menimpali.
Mata Lusi kontan terbuka begitu mendengar ucapan Siska. Dengan ragu ia menengadah, bermaksud menatap Siska.
"Lo nggak tahu?" Siska memastikan, "atau lo nggak mau tahu?" imbuhnya.
Lusi akan menjawab namun, Siska segera memotong ucapannya.
"Nomor tiga!" Siska menekankan suara. "Zen itu nakal, gue tahu itu. Dan dia udah kayak gitu dari dulu. Jangan bilang lo pacaran sama dia?"
Deg!
Jantung Lusi seperti tertusuk mendengar pertanyaan Siska, ia bahkan tak tahu harus menjawab apa. Tanpa sadar ia menurunkan pandangan ke lantai, tak lagi menatap Siska."Diemnya lo menandakan itu bener."
Lusi hanya bisa pasrah, sungguh ia tak bisa berkata apapun. Jangankan menjawab, bernapas saja rasanya sesak.
"Gue sahabatan sama Zoey, lo tahu sendiri kalau dia kakaknya Zen, dia sering cerita tentang adiknya. Awalnya gue nggak tahu siapa, tapi saat liburan kemarin, gue baru ketemu dan bisa tahu kalau yang diceritain ke gue itu Zen," Siska berdiri dari kursi. "Dan gue tahu dia senakal apa. Dia aja nggak ngehargai Zoey sebagai kakaknya, apalagi lo yang cuma pacarnya."
Lusi merasa tuli begitu mendengar kata-katanya, bahkan ia tidak ingin Siska mengatakan itu. Hingga tanpa sadar matanya sudah berkaca-kaca saat menatap tantenya, Siska.
"Jauhi dia, atau lo gue pindahin ke sekolah lain." Siska berlalu pergi.
Jangan ... jangan lakuin ini, batin Lusi pedih. Matanya mulai berderai air mata, begitu deras, dan tak tertahan. Ingin sekali ia meraung-raung untuk melampiaskan segalanya.
***
Lusi berjalan pelan dengan melihat ke bawah, tatapannya terlihat hampa, ia bahkan tidak berkedip. Saat ini ia lebih terlihat seperti tak memiliki semangat hidup.
"Good morning!" suara Zen terdengar di telinganya membuat Lusi refleks menoleh. Ia sampai berhenti melangkahkan kaki.
"Hai," Zen tersenyum manis, senyum yang akan membuat siapa pun yang melihatnya akan luluh seketika, bahkan bisa saja jatuh hati. Ia sungguh merasa bodoh sebab dulu sempat membenci lengkungan senyum itu. Tapi sekarang ia merasa beruntung bisa melihat senyuman itu lagi.
"Hm," Lusi berdehem pelan, seakan tak ingin Zen mendengarnya.
Gue nggak akan bisa kayak ini lagi, atau gue bakalan jauh dari lo, batin Lusi miris. Ia hanya bisa menatap wajah Zen dalam diam.
Zen menatap Lusi teduh, "Kenapa?" Zen meletakkan tangannya ke puncak kepala Lusi sambil membungkuk, berusaha menyamai tinggi badan gadis itu.
"Tante Siska nggak mau hubungan kita-"
"I know," Zen memahami.
Lusi menatap Zen lekat, "Kalau tante tahu-"
"Kalo tante tahu," potong Zen, ia menimang ucapannya, "kita nggak boleh ketemu lagi?" ia menebak.
Lusi mengangguk, "Dia bilang, aku bakal dipindahin ke sekolah lain, dan kita nggak akan ketemu lagi," Lusi mengutarakan.
Zen tersenyum, "Takut? Zen selalu di sini," ia meletakkan tangannya di dada, suaranya sangat lembut, bahkan Lusi yakin Zen mengatakannya dengan setulus hati. "Kita bisa sedikit jaga jarak. Biar tante nggak tahu."
"Kenapa nggak keberatan?" Lusi bertanya.
Zen menurunkan tangannya, beralih menggenggam tangan Lusi, "Karena itu demi kamu." Zen tersenyum lagi. Ia mulai menarik tangan Lusi, mengajaknya kembali berjalan menuju sekolah.
"Tunggu!" Lusi tersadar sesuatu, membuat Zen menaikkan kedua alis.
"Kok, sekarang panggilannya ganti jadi aku-kamu?" Lusi menunjuk diri sendiri lalu Zen bergantian.
Zen hanya bisa mengacak pelan puncak kepala Lusi.
***
"Lu?"
Merasa dipanggil Lusi menoleh, ia sampai berhenti di depan pintu kelas, padahal bel masuk sebentar lagi berbunyi.
"Ada apa, Fer?" tanya Lusi begitu Fero sudah berdiri di hadapannya, ia mendongak agar bisa melihat Fero.
"Nanti pulangnya bareng, oke? Gue mau ngajak lo ke toko buku. Lo pasti suka."
Tuhan. Gue lupa, urusan gue belum selesai sama Fero, batin Lusi risau.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You![COMPLETED]
Teen FictionSemuanya berawal dari sikap menyebalkan seorang Zen. Bagi Lusi, dia tak lebih dari seorang cowok yang sangat menyebalkan. Lusi memang tak mengenalnya, tapi Lusi tetap merasa terganggu dengan keberadaannya. Tapi setelah tahu sesuatu dari lelaki itu...